Amma ba’du.
Tak terasa bulan Ramadhan semakin dekat menyapa. Tak terasa pula gegap-gempita piala dunia ada di ambang layar kaca. Keduanya menarik bagi para pengikutnya. Yang satu menuntun kepada surga, dan yang satu mengajak pada kepuasan semata.
Piala Dunia seolah menjadi perhelatan akbar yang tak boleh dilalaikan oleh para penggemar bola di segenap penjuru dunia. Setiap grup kebanggaan mereka menjadi simbol semangat dan perjuangan yang selalu dibela. Yel-yel suporter menggoncang stadion dan mendobrak jiwa jawara lapangan hijau.
Piala Dunia seolah mengubah jam-jam istirahat menjadi jam-jam sibuk dengan kopi, camilan, dan rokok yang setia menemani pemirsa dimana pun mereka berada. Tadarus pun harus ditunda, atau dibatalkan, atau diringkas seringkas-ringkasnya. Demi menyaksikan aksi striker idola dan penjaga gawang pujaan.
Sepak terjang wasit telah mengalahkan ustadz dan da’i yang mengisi ceramah dan tausiyah. Ocehan presenter pun lebih menarik daripada alunan suara imam dan mu’adzin yang membelah suasana dan menyejukkan jiwa. Bola yang menggelinding dan ditendang kesana-kemari seolah telah menjadi magnet berkekuatan dahsyat yang mampu menarik kelopak mata jutaan pemirsa sehingga lupa dari tidur dan istirahatnya.
Lapangan hijau telah menarik jutaan pasang mata untuk terus memantau siaran-siaran langsung atau kalau terpaksa ya siaran tunda, jauh lebih menarik dan lebih membuat menyala semangat daripada lembaran-lembaran mushaf atau buku-buku agama. Jebolan bola ke gawang telah menjadi pertunjukan luar biasa yang memalingkan orang dari berdzikir kepada Allah dan menghiasi lidah dengan taubat dan istighfar kepada-Nya.
Fenomena Piala Dunia, mungkin perlu menjadi bahan renungan kita bersama, sudahkah kita termasuk golongan orang yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Akan bisa merasakan manisnya iman orang yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai Rasul.” (HR. Muslim)Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Ada tiga perkara, barangsiapa yang ketiganya ada pada dirinya maka dia akan merasakan manisnya iman; yaitu apabila Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya daripada segala sesuatu selain keduanya, dan tidaklah dia mencintai seseorang kecuali karena Allah, dan dia benci kembali kepada kekafiran setelah Allah selamatkan dirinya sebagaimana dia benci apabila dilemparkan ke dalam kobaran api/neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Di sinilah kiranya cinta kita diuji dan diseleksi. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah manusia itu mengira dibiarkan berkata ‘kami beriman’ lalu mereka tidak diuji?” (QS. al-’Ankabut : 2)
Akankah kecintaan kita kepada bola mengalahkan kecintaan kita kepada semerbak pahala dan kemilau amal salih di bulan yang mulia… Allahul musta’aan.
—
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel Muslim.Or.Id
No comments:
Post a Comment