Penyucian jiwa adalah masalah yang
sangat penting dalam Islam, bahkan merupakan salah satu tujuan utama diutusnya
Nabi kita Muhammmad shallallahu ‘alaihi wa sallam (Lihat kitab Manhajul
Anbiya’ fii Tazkiyatin Nufuus, hal. 21)
Allah Ta’ala menjelaskan hal ini
dalam banyak ayat Al Qur-an, di antaranya firman Allah Ta’ala,
كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولاً
مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ
وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ
“Sebagaimana Kami telah mengutus
kepadamu seorang Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepadamu,
dan menyucikan(diri)mu, dan mengajarkan kepadamu Al kitab (Al Qur-an) dan Al
Hikmah (As Sunnah), serta mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui.” (Qs Al Baqarah: 151)
Juga firman-Nya,
لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو
عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ
وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ
“Sungguh Allah telah memberi karunia
(yang besar) kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus kepada
mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada
mereka ayat-ayat Allah, mensucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka
Al Kitab (Al Qur-an) dan Al Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya sebelum
(kedatangan Rasul) itu, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Qs Ali ‘Imraan: 164)
Makna firman-Nya “menyucikan (jiwa)
mereka” adalah membersihkan mereka dari keburukan akhlak, kotoran jiwa dan
perbuatan-perbuatan jahiliyyah, serta mengeluarkan mereka dari
kegelapan-kegelapan menuju cahaya (hidayah Allah Ta’ala). (Lihat Tafsir Ibnu
Katsir, 1/267)
Pentingnya Tazkiyatun Nufus Dalam
Islam
Pentingnya tazkiyatun nufus ini akan
semakin jelas kalau kita memahami bahwa makna takwa yang hakiki adalah
pensucian jiwa itu sendiri (Lihat kitab Manhajul Anbiya’ fii Tazkiyatin
Nufuus, hal. 19-20). Artinya ketakwaan kepada Allah Ta’ala yang sebenarnya
tidak akan mungkin dicapai kecuali dengan berusaha menyucikan dan membersihkan
jiwa dari kotoran-kotoran yang menghalangi seorang hamba untuk dekat kepada
Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala menjelaskan hal ini
dalam firman-Nya,
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا
فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاها قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ
مَنْ دَسَّاهَا
“Dan (demi) jiwa serta
penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan)
kefasikan dan ketakwaan. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa
itu (dengan ketakwaan) dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya
(dengan kefasikan).” (Qs Asy Syams: 7-10)
Demikian juga sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam doa beliau:
اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِى تَقْوَاهَا
وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا
“Allahumma aati nafsii taqwaaha wa
zakkihaa, anta khoiru man zakkaahaa, anta waliyyuhaa wa mawlahaa” [Ya Allah,
anugerahkanlah kepada jiwaku ketakwaan, dan sucikanlah jiwaku (dengan ketakwaan
itu), Engkau-lah Sebaik-baik Yang Mensucikannya, (dan) Engkau-lah Yang Menjaga
serta Melindunginya]“ (HSR. Muslim dalam Shahih Muslim
no. 2722)
Imam Maimun bin Mihran (seorang
ulama tabi’in) berkata, “Seorang hamba tidak akan mencapai takwa sehingga dia
melakukan muhasabatun nafsi (introspeksi terhadap keinginan jiwa untuk mencapai
kesucian jiwa) yang lebih ketat daripada seorang pedagang yang selalu mengawasi
sekutu dagangnya (dalam masalah keuntungan dagang). Oleh karena itu, ada yang
mengatakan: Jiwa manusia itu ibarat sekutu dagang yang suka berkhianat.
Kalau
Anda tidak selalu mengawasinya, dia akan pergi membawa hartamu (sebagaimana
jiwa akan pergi membawa agamamu)” (Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitab beliau
Ighaatsatul Lahfaan, hal. 147 – Mawaaridul Amaan)
Ketika menerangkan pentingnya tazkiyatun
nufus, Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah mengatakan, “Orang-orang yang
menempuh jalan (untuk mencari keridhaan) Allah Ta’ala, meskipun jalan dan
metode yang mereka tempuh berbeda-beda, akan tetapi mereka sepakat mengatakan
bahwa nafsu (jiwa) manusia adalah penghalang utama bagi hatinya untuk sampai
kepada ridha Allah Ta’ala. Sehingga seorang hamba tidak akan mencapai kedekatan
kepada Allah Ta’ala melainkan setelah dia berusaha menentang dan menguasai
nafsunya (dengan melakukan tazkiyatun nufus)” (Kitab Ighaatsatul Lahfaan,
hal. 132 – Mawaaridul Amaan))
Manhaj Ahlul Bid’ah Dalam Penyucian
Jiwa
Karena pentingnya kedudukan
tazkiyatun nufus dalam agama Islam inilah, tidak heran kalau kita mendapati
orang-orang ahlul bid’ah berlomba-lomba mengatakan bahwa merekalah yang paling
perhatian terhadap masalah ini, bahkan sebagian mereka berani mengklaim bahwa
hanya dengan mengamalkan metode merekalah seorang hamba bisa mencapai kesucian
jiwa yang utuh dan sempurna.
Akan tetapi, kalau kita mengamati
dengan seksama metode-metode mereka, kita akan dapati bahwa semua metode
tersebut tidak bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah. Akan tetapi sumbernya
adalah pertimbangan akal dan perasaan, atau ciptaan pimpinan-pimpinan kelompok
mereka, bahkan berdasarkan khayalan atau mimpi yang kemudian mereka namakan
mukasyafah (tersingkapnya tabir)
[1]. Inilah sebab utama yang menjadikan
setan mampu menyesatkan mereka sejauh-jauhnya dari jalan yang benar, karena
berpalingnya mereka dari petunjuk Allah dalam Al Qur-an dan Sunnah. Sehingga
dengan manerapkan metode-metode mereka tersebut seseorang tidak akan mencapai
kesucian jiwa dan kebersihan hati yang sebenarnya, bahkan justru hatinya akan
semakin jauh dari Allah karena mereka mengikuti jalan-jalan setan, “Barangsiapa
yang berpaling dari dalil (Al Qur-an dan Sunnah) maka jalannya akan tersesat”
(Ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam
kitab Miftahu Daaris Sa’aadah, 1/83)
[1] Maksudnya adalah cerita bohong orang-orang ahli Tasawuf
yang bersumber dari bisikan jiwa dan perasaan mereka, yang sama sekali tidak
berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah.
Imam Ibnul Qayyim mengatakan,
“Termasuk tipu daya setan adalah apa yang dilontarkannya kepada orang-orang
ahli tasawuf yang bodoh, berupa asy syathahaat (ucapan-ucapan tanpa
sadar/igauan) dan penyimpangan besar, yang ditampakkannya kepada mereka sebagai
bentuk mukasyafah (tersingkapnya tabir hakikat) dari khayalan-khayalan.
Maka setan pun menjerumuskan mereka dalam berbagai macam kerusakan dan
kebohongan, serta membukakan bagi mereka pintu pengakuan-pengakuan dusta yang
sangat besar.
Setan membisikan kepada mereka bahwa sesungguhnya di luar ilmu
(syariat yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah) ada jalan lain yang jika
mereka menempuhnya maka jalan itu akan membawa mereka kepada tersingkapnya (hakikat
dari segala sesuatu) secara jelas dan membuat mereka tidak butuh lagi untuk
terikat dengan (hukum dalam) Al Qur’an dan As Sunnah [?!] …maka ketika mereka
menempuh jalan yang jauh dari bimbingan ilmu yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, setan pun menampakkan kepada mereka berbagai macam
kesesatan sesuai dengan keadaan mereka, dan membisikkan khayalan-khayalan ke
dalam jiwa mereka, kemudian menjadikan khayalan-khayalan tersebut seperti
benar-benar nyata sebagai penyingkapan hakikat dari segala sesuatu secara
jelas…[?!]” (Kitab Ighaatsatul Lahfaan, hal. 193 – Mawaaridul Amaan)
Senada dengan ucapan di atas, Imam
Ibnul Jauzi ketika menjelaskan perangkap setan dalam menjerumuskan orang-orang
tasawuf, beliau berkata, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya awal mula talbis
(pengkaburan/perangkap) Iblis untuk menjerumuskan manusia ke dalam kesesatan
adalah dengan menghalangi (memalingkan) mereka dari ilmu agama yang bersumber
dari Al Qur’an dan As Sunnah, karena ilmu agama itu adalah cahaya yang menerangi
hati, maka jika Iblis telah berhasil memadamkan lampu-lampu cahaya mereka, dia
akan mampu mengombang-ambingkan dan menyesatkan mereka dalam kegelapan
(kesesatan) sesuai dengan keinginannya.” (Kitab Talbiisu Ibliis, hal.
389)
***
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan Penyucian Jiwa (2)
Manhaj Ahlus Sunnah dalam Penyucian
jiwa
Adapun manhaj Ahlus Sunnah dalam hal
ini adalah metode yang paling selamat dan terjamin kebenarannya, karena
benar-benar bersumber dari wahyu Allah Yang Maha Menguasai hati manusia dan
Maha Mampu Membersihkan jiwa mereka. Dalam hadits shahih riwayat Imam Muslim
(no. 2654), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya
hati manusia semuanya (berada) di antara dua jari dari jari-jari Ar Rahman
(Allah Ta’ala), seperti hati yang satu, yang Dia akan memalingkan
(membolak-balikkan) hati tersebut sesuai dengan kehendak-Nya”, kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca doa:
اللَّهُمَّ مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ
صَرِّفْ قُلُوبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ
“Allahumma mushorrifal quluub
shorrif quluubana ‘ala tho’atik.”
[Ya Allah yang memalingkan (membolak-balikkan) hati manusia, palingkanlah hati
kami di atas ketaatan kepada-Mu]
Juga dalam doa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam yang kami sebutkan di atas: “Allahumma aati nafsii
taqwaaha wa zakkihaa, anta khoiru man zakkaahaa, anta waliyyuhaa wa mawlahaa.”
[Ya Allah, anugerahkanlah kepada jiwaku ketakwaan, dan sucikanlah jiwaku
(dengan ketakwaan itu), Engkau-lah Sebaik-baik Yang Mensucikannya, (dan)
Engkau-lah Yang Menjaga serta Melindunginya]” (HSR. Muslim dalam Shahih Muslim
no. 2722)
Allah Ta’ala menjelaskan salah satu
fungsi utama diturunkannya Al Qur-an yaitu membersihkan hati dan menyucikan
jiwa manusia dari noda dosa dan maksiat yang mengotorinya, dalam firman-Nya,
أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً
فَسَالَتْ أَوْدِيَةٌ بِقَدَرِهَا فَاحْتَمَلَ السَّيْلُ زَبَداً رَابِياً
وَمِمَّا يُوقِدُونَ عَلَيْهِ فِي النَّارِ ابْتِغَاءَ حِلْيَةٍ أَوْ مَتَاعٍ
زَبَدٌ مِثْلُهُ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْحَقَّ وَالْبَاطِلَ فَأَمَّا
الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً وَأَمَّا مَا يَنْفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي
الْأَرْضِ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ
“Allah menurunkan air (hujan) dari
langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka aliran
air itu itu membawa buih yang mengambang (di permukaan air). Dan dari apa
(logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasaan atau alat-alat,
ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan
(bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih, akan hilang sebagai sesuatu
yang tidak berguna; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap
di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.” (Qs Ar Ra’d: 17)
Dalam menafsirkan ayat di atas Imam
Ibnul Qayyim berkata, “(Dalam ayat ini) Allah Ta’ala mengumpamakan ilmu yang
diturunkan-Nya kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan air
(hujan), karena keduanya membawa kehidupan dan manfaat bagi manusia dalam
kehidupan mereka di dunia dan akhirat. Kemudian Allah mengumpamakan hati
manusia dengan lembah (sungai, danau dan lain-lain), hati yang lapang (karena
bersih dari kotoran) akan mampu menampung ilmu yang banyak sebagaimana lembah
yang luas mampu menampung air yang banyak, dan hati yang sempit (karena
dipenuhi kotoran) hanya mampu menampung ilmu yang sedikit sebagaimana lembah
yang sempit hanya mampu menampung air yang sedikit, Allah berfirman (yang
artinya), “…Maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya (daya
tampungnya)” Kemudian Allah berfirman (yang artinya), “…Maka aliran air
itu itu membawa buih yang mengambang (di permukaan air)”
Ini adalah
perumpamaan yang Allah sebutkan bagi ilmu (wahyu dari-Nya) ketika kemanisan
ilmu tersebut masuk dan meresap ke dalam hati manusia, maka ilmu tersebut akan
mengeluarkan membersihkan dari hati manusia buih (kotoran) syubhat (kerancuan
dalam memahami dan mengamalkan agama) yang merusak sehingga kotoran tersebut
akan mengambang (tidak menetap) di permukaan hati, sebagaimana aliran air akan
mengeluarkan kotoran dari lembah sehingga kotoran tersebut akan mengambang di
permukaan air.
Allah Ta’ala mengabarkan bahwa kotoran tersebut mengambang dan
mengapung di atas permukaan air, tidak menetap (dengan kuat) di atas tanah.
Demikian pula (keadaan kotoran) syubhat yang rusak ketika ilmu mengeluarkan
(membersihkan)nya (dari hati), syubhat tersebut akan mengambang dan mengapung
di atas permukaan hati, tidak menetap dalam hati, bahkan kemudian akan dibuang
dan disingkirkan dari hati, sehingga pada akhirnya yang menetap pada hati
tersebut adalah petunjuk (ilmu) dan agama yang benar (amal shaleh) yang
bermanfaat bagi orang tersebut dan orang lain, sebagaimana yang akan menetap
pada lembah adalah air yang jernih dan buih (kotoran) akan tersingkirkan
sebagai sesuatu yang tidak berguna.
Tidaklah mampu (memahami)
perumpaan-perumpaan dari Allah kecuali orang-orang yang berilmu.” (Kitab Miftaahu
Daaris Sa’aadah, 1/61)
Kemudian Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam lebih mempertegas perumpaan di atas dalam sabda beliau, “Sesungguhnya
perumpaan bagi petunjuk dan ilmu yang Allah wahyukan kepadaku seperti air hujan
(yang baik) yang Allah turunkan ke bumi…” (HSR Al Bukhari no. 79 dan Muslim
no. 2282)
Imam Ibnu Hajar dalam kitab beliau Fathul
Baari membawakan ucapan para ulama dalam menerangkan makna hadits ini: “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat perumpamaan bagi agama yang beliau bawa
(dari Allah Ta’ala) seperti air hujan (yang baik) yang merata dan turun ketika
manusia (sangat) membutuhkannya, seperti itu jugalah keadaan manusia sebelum
diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana air hujan
tersebut memberi kehidupan (baru) bagi negeri yang mati (kering dan tandus),
demikian pula ilmu agama akan memberi kehidupan bagi hati yang mati…” (Fathul
Baari, 1/177)
Adapun dalil-dalil dari Al Qur-an
dan As Sunnah yang menunjukkan bahwa masing-masing dari ibadah yang Allah
Ta’ala syariatkan kepada hamba-hamba-Nya bertujuan untuk menyucikan dan
membersihkan jiwa-jiwa mereka, maka terlalu banyak untuk disebutkan semua.
Misalnya adalah shalat. Allah Ta’ala menjelaskan salah satu tujuan utama
disyariatkannya ibadah ini, yaitu untuk membersihkan jiwa manusia dari
perbuatan keji dan mungkar yang termasuk kotoran dan penyakit hati yang paling
merusak, dalam firman-Nya,
وَأَقِمِ الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ
تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
“…Dan dirikanlah shalat,
sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (Qs Al ‘Ankabuut: 45)
Demikian pula zakat, Allah Ta’ala
berfirman,
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً
تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا
“Ambillah zakat dari sebagian harta
mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan (jiwa dan hati)
mereka…” (Qs At Taubah: 103)
Demikian pula puasa, karena tujuan
utama puasa adalah untuk mencapai takwa, yang hakikat dari takwa itu adalah
penyucian jiwa, sebagaimana penjelasan di atas. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu, agar kamu bertakwa.” (Qs Al
Baqarah: 183)
Demikian juga syariat hijab (tabir)
antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, Allah berfirman,
ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ
وَقُلُوبِهِنَّ
“Cara yang demikian itu lebih suci
bagi hatimu dan hati mereka.”
(Qs Al Ahzaab: 53)
Dan masih banyak contoh lainnya, bahkan
secara umum pengagungan terhadap semua perintah Allah dalam syariat-Nya adalah
bukti ketakwaan hati dan kesucian jiwa.
Allah Ta’ala berfirman,
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ
اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
“Demikianlah (perintah Allah), dan
barangsiapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar (perintah-perintah/syariat) Allah,
maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (Qs Al Hajj: 32)
Berdasarkan keterangan di atas,
jelaslah bahwa penyucian jiwa yang sebenarnya hanyalah dapat dicapai dengan
memahami dan mengamalkan wahyu Allah Ta’ala yang terjamin kebenarannya, yaitu
Al Qur’an dan sunnah yang shahih (benar). Oleh karena itulah, menurut manhaj
Ahlus Sunnah wal Jama’ah, untuk mencapai kebersihan hati dan kesucian jiwa
tidak ada metode atau cara-cara khusus selain dari mempelajari dan mengamalkan
syariat Islam secara keseluruhan. (Lihat kitab Manhajul Anbiya’ fii
Tazkiyatin Nufuus, hal. 59).
Karena kalau masalah ini merupakan
hal yang sangat penting dalam Islam, bahkan merupakan salah satu tujuan utama
diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana
penjelasan di awal tulisan ini, maka apakah mungkin syariat Islam yang lengkap
dan sempurna ini luput dari menjelaskan masalah yang sangat dibutuhkan manusia
ini? Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Tidak
tertinggal sedikitpun (dari perkataan atau perbuatan) yang (bisa) mendekatkan
kamu dari surga dan menjauhkanmu dari neraka melainkan (semuanya) telah
dijelaskan bagimu (dalam agama Islam ini)” (HR Ath Thabraani dalam Al
Mu’jamul Kabiir no. 1647 dan dinyatakan Shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Ash
Shahihah no. 1803).
Hadits ini diriwayatkan oleh sahabat yang mulia Abu
Dzar Al Gifaari radhiyallahu ‘anhu setelah sebelumnya beliau berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat meninggalkan kami
dalam keadaan tidak ada seekor burung pun yang mengepakkan sayapnya di udara
(tidak ada satu masalahpun yang kami butuhkan dalam beribadah dan mendekatkan
diri kepada Allah Ta’ala) melainkan beliau telah menjelaskan ilmu (petunjuk
Allah) dalam semua masalah tersebut.” (Ibid)
Oleh karena itulah, maka orang yang
paling bersih hatinya dan paling suci jiwanya adalah orang yang paling banyak
memahami dan mengamalkan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
Bahkan membaca dan memahami kitab-kitab para ulama yang berisi
ilmu yang bersumber dari Al Qur’an dan Sunnah adalah satu-satunya obat untuk
membersihkan kotoran hati dan jiwa manusia. Imam Ibnul Jauzi mengatakan di
sela-sela sanggahan beliau terhadap sebagian ahli tasawuf yang mengatakan bahwa
ilmu tentang syariat Islam tidak diperlukan untuk mencapai kebersihan hati dan
kesucian jiwa, “Ketahuilah bahwa hati manusia tidak mungkin terus dalam
keadaan bersih, akan tetapi suatu saat mesti akan bernoda karena dosa dan
maksiat, maka pada waktu itu dibutuhkan pembersih hati dan pembersih hati itu
adalah menelaah kitab-kitab ilmu agama untuk memahami dan mengamalkannya.”
(Kitab Talbisu Ibliis, hal.398)
Epilog
Setelah membaca tulisan di atas
jelaslah bagi kita bagaimana pentingnya mengkaji dan memahami ilmu agama,
karena inilah satu-satunya cara untuk meraih kemuliaan tingi dalam agama, yaitu
ketakwaan hati dan kesucian jiwa. Oleh karena itu, sangat wajar kalau kita
dapati para ulama Ahlus Sunnah menggambarkan kebutuhan manusia terhadap ilmu
agama melebihi besarnya kebutuhan mereka terhadap semua kebutuan pokok dalam
kehidupan mereka.
Alangkah indahnya ucapan Imam Ahmad
bin Hambal, Imam ahlus Sunnah di jamannya, ketika menggambarkan kebutuhan
manusia terhadap ilmu agama ini dalam ucapan beliau yang terkenal, “Kebutuhan
manusia terhadap ilmu agama melebihi besarnya kebutuhan mereka terhadap
makan dan minum, karena makan dan minum dibutuhkan sekali atau dua kali dalam
sehari. Adapun ilmu agama dibutuhkan sesuai dengan hitungan nafas manusia
setiap waktu.” (Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Miftaahu
Daaris Sa’aadah, 1/61 dan 1/81)
Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan doa:
Ya Allah, anugerahkanlah kepada
jiwa-jiwa kami semua ketakwaannya,
dan sucikanlah jiwa kami (dengan ketakwaan itu),
Engkau-lah Sebaik-baik Yang Mensucikannya,
(dan) Engkau-lah Yang Menjaga serta Melindunginya.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد
وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, 3 Shafar 1430 H