Dalam beberapa hadis
ada disebutkan tentang berapa jumlah zikir yang dianjurkan untuk dibaca dalam
solat, setelah solat ataupun di luar solat. Mulai dari bacaan 1 kali, 3 kali, 7
kali, 10 kali, 33 kali dan lainnya. Berikut ini akan disebutkan jumlah-jumlah
yang secara jelas dianjurkan oleh hadis untuk dibaca lebih dari seratus kali.
Sekaligus ia bertentangan dengan pendapat sebagian masayarakat yang
'mengharamkan' membaca zikir dengan jumlah tertentu.
Ironisnya ada di
antara mereka yang 'mengharamkan membaca zikir dengan jumlah-jumlah yang
tertentu, tetapi ada yang mengaku dirinya sebagai ahli hadis. Dikatakan bahawa
bilangan terbanyak untuk zikir yang disebutkan dalam sunnah adalah seratus kali
sahaja. Oleh itu, jika seseorang membaca zikir tertentu dengan kiraan lebih
dari seratus kali maka hukumnya haram. Hasbunallah.
a) Al-Imam Ahmad ibn
Hanbal meriwayatkan dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Amr bahwa Rasulullah saw
bersabda;
مَنْ قَالَ لاَ
إِلهَ
إِلاَّ
اللهُ
وَحْدَهُ
لاَ
شَرِيْكَ
لَهُ،
لَهُ
الْمُلْكُ
وَلَهُ
الْحَمْدُ
وَهُوَ
عَلَى
كُلِّ
شَىْءٍ
قَدِيْرٌ
مِائَتَيْ
مَرَّةٍ
فِيْ
يَوْمٍ
لَمْ
يَسْبِقْهُ
أَحَدٌ
كَانَ
قَبْلَهُ
وَلاَ
يُدْرِكُهُ
أَحَدٌ
بَعْدَهُ
إِلاَّ
بِأَفْضَلَ
مِنْ
عَمَلِهِ"
قَالَ
الْحَافِظُ
الْهَيْثَمِيُّ:
رَوَاهُ
أَحْمَدُ
وَالطَّبَرَانِيُّ
إِلاَّ
أَنَّهُ
قَالَ:
فِيْ
كُلِّ
يَوْمٍ"
وَرِجَالُ
أَحْمَدَ
ثِقَاتٌ.
“Barang siapa
membaca: “La Ilaha Illallahu Wahdahu La Syarika Lahu Lahu al-Mulku Wa Lahu
al-Hamdu Wa Huwa ‘Ala Kulli Syai’in Qadir” sebanyak dua ratus kali dalam
sehari, maka tidak ada seorangpun sebelumnya yang bisa mendahuluinya dan tidak
ada seorang-pun setelahnya yang bisa menyamainya, kecuali orang yang melakukan
amal yang lebih afdlal darinya”. (Al-Hafizh al-Haytsami berkata: Hadits ini
diriwayatkan oleh Ahmad dan ath-Thabarani. Hanya saja dalam riwayat
ath-Thabarani lafazhnya adalah “Fi Kulli Yaum…”. Dan perawi-perawi riwayat
Ahmad adalah orang-orang tsiqat (Orang-orang terpercaya).
b) Al-Imam an-Nasa-i
meriwayatkan dalam kitab ‘Amal al-Yaum Wa al-Lailah bahwa Rasulullah bersabda;
مَنْ قَالَ لاَ
إِلهَ
إِلاَّ
اللهُ
وَحْدَهُ
لاَ
شَرِيْكَ
لَهُ،
لَهُ
الْمُلْكُ
وَلَهُ
الْحَمْدُ
وَهُوَ
عَلَى
كُلِّ
شَىْءٍ
قَدِيْرٌ
مِائَةَ
مَرَّةٍ
إِذَا
أَصْبَحَ
وَمِائَةَ
مَرَّةٍ
إِذَا
أَمْسَى
لَمْ
يَأْتِ
أَحَدٌ
بِأَفْضَلَ
مِنْه
إِلاَّ
مَنْ
قَالَ
أَفْضَلَ
مِنْ
ذَلِكَ.
“Barangsiapa membaca:
“La Ilaha Illallahu Wahdahu La Syarika Lahu, Lahu al-Mulku Wa Lahu al-Hamdu Wa
Huwa ‘Ala Kulli Syai’in Qadir” sebanyak seratus kali di pagi hari, dan seratus
kali di sore hari, maka tidak ada seorangpun yang bisa mengunggulinya, kecuali
orang yang membaca lebih afdlal darinya”.
c) Dalam riwayat
lainnya dalam kitab ‘Amal al-Yaum Wa al-Lailah', Al-Imam an-Nasa-i juga meriwayatkan
bahwa Rasulullah bersabda;
مَنْ قَالَ لاَ
إِلهَ
إِلاَّ
اللهُ
وَحْدَهُ
لاَ
شَرِيْكَ
لَهُ،
لَهُ
الْمُلْكُ
وَلَهُ
الْحَمْدُ
وَهُوَ
عَلَى
كُلِّ
شَىْءٍ
قَدِيْرٌ
مِائَتي
مَرَّةٍ
لَمْ
يُدْرِكْهُ
أَحَدٌ
بَعْدَهُ
إِلاَّ
مَنْ
قَالَ
مِثْلَ
مَا
قَالَ
أَوْ
أَفْضَلَ.
“Barangsiapa membaca:
“La Ilaha Illallahu Wahdahu La Syarika Lahu, Lahu al-Mulku Wa Lahu al-Hamdu Wa
Huwa ‘Ala Kulli Syai’in Qadir” sebanyak sebanyak dua ratus kali, maka tidak ada
seorangpun setelahnya yang bisa menyamainya, kecuali orang yang membaca sama
dengan yang dibacanya atau yang lebih afdlal darinya”.
d) Dalam kitab ‘Amal
al-Yaum Wa al-Lailah' Al-Imam an-Nasa-i juga meriwayatkan bahwa Rasulullah
bersabda;
مَنْ قَالَ فِيْ
يَوْمٍ
مِائَتَيْ
مَرَّةٍ
لاَ
إِلهَ
إِلاَّ
اللهُ
وَحْدَهُ
لاَ
شَرِيْكَ
لَهُ،
لَهُ
الْمُلْكُ
وَلَهُ
الْحَمْدُ
وَهُوَ
عَلَى
كُلِّ
شَىْءٍ
قَدِيْرٌ
لَمْ
يَسْبِقْهُ
أَحَدٌ
كَانَ
قَبْلَهُ
وَلاَ
يُدْرِكُهُ
أَحَدٌ
كَانَ
بَعْدَهُ
إِلاَّ
مَنْ
عَمِلَ
أَفْضَلَ
مِنْ
عَمَلِهِ.
“Barangsiapa membaca:
“La Ilaha Illallahu Wahdahu La Syarika Lahu Lahu al-Mulku Wa Lahu al-Hamdu Wa
Huwa ‘Ala Kulli Syai’in Qadir” sebanyak sebanyak dua ratus kali dalam sehari,
maka tidak ada seorangpun sebelumnya yang bisa mendahuluinya dan tidak ada seorang-pun
setelahnya yang bisa menyamainya, kecuali orang yang melakukan amal yang lebih
afdal dari amalnya”.
e) Al-Imam Muslim
meriwayatkan dalam sohehnya dari sahabat Abu Hurairah bahawa Rasulullah
bersabda;
مَنْ قَالَ حِيْنَ
يُصْبِحُ
وَحِيْنَ
يُمْسِيْ:
سُبْحَانَ
اللهِ
وَبِحَمْدِهِ
مِائَةَ
مَرَّةٍ،
لَمْ
يَأْتِ
أَحَدٌ
يَوْمَ
الْقِيَامَةِ
بِأَفْضَلَ
مِمَّا
جَاءَ
بِهِ
إِلاَّ
أَحَدٌ
قَالَ
مِثْلَ
مَا
قَالَ
أَوْ
زَادَ
عَلَيْهِ
(رواه
مسلم)
“Barangsiapa membaca
di pagi dan petang hari: “Subhanallah Wa Bihamdih” sebanyak seratus kali, maka
tidak ada seorangpun di hari kiamat nanti yang bisa mengunggulinya kecuali
orang yang membaca seperti yang dibacanya atau lebih banyak darinya”. - HR. Muslim
f) Al-Imam Ahmad ibn
Hanbal meriwayatkan dari Ummu Hani’ binti Abu Thalib, bahwa ia (Ummu Hani’)
berkata: “Suatu ketika aku bertemu dengan Rasulullah. Aku berkata: “Wahai
Rasulullah, aku ini sudah tua dan mulai lemah, karenanya perintahkan aku dengan
suatu amalan yang bisa aku kerjakan sambil duduk”.Kemudian Rasulullah berkata:
“Bacalah;
سَبِّحِيْ اللهَ
مِائَةَ
تَسْبِيْحَةٍ
فَإِنَّهَا
تَعْدِلُ
لَكِ
مِائَةَ
رَقَبَةٍ
تُعْتِقِيْنَهَا
مِنْ
وَلَدِ
إِسْمَاعِيْلَ،
وَاحْمَدِيْ
اللهَ
مِائَةَ
تَحْمِيْدَةٍ
تَعْدِلُ
لَكِ
مِائَةَ
فَرَسٍ
مُسَرَّجَةً
مُلْجَمَةً
تَحْمِلِيْنَ
عَلَيْهَا
فِيْ
سَبِيْلِ
اللهِ،
وَكَبِّرِيْ
اللهَ
مِائَةَ
تَكْبِيْرَةٍ
فَإِنَّهَا
تَعْدِلُ
لَكِ
مِائَةَ
بَدَنَةٍ
مُقَلَّدَةً
مُتَقَبَّلَةً،
وَهَلِّلِيْ
اللهَ
مِائَةَ
تَهْلِيْلَةٍ
تَمْلَأُ
مَا
بَيْنَ
السَّمَاءِ
وَالأَرْضِ،
وَلاَ
يُرْفَعُ
يَوْمَئِذٍ
لأَحَدٍ
عَمَلٌ
إِلاَّ
أَنْ
يَأْتِيَ
بِمِثْلِ
مَا
أَتَيْتِ
بِهِ
(حسّن
إسنادَه
الحافظ
الهيثميّ
والحافظ
المنذريّ
في
الترغيب
والترهيب)
“Bacalah tasbih
seratus kali, sungguh itu sebanding dengan seratus budak yang engkau merdekakan
dari anak keturunan Nabi Isma’il. Bacalah hamdalah seratus kali, sungguh itu
sebanding dengan seratus ekor kuda berpelana dan dikekang yang membawa
perbekalan perang di jalan Allah. Bacalah takbir seratus kali, sungguh itu
sebanding dengan seratus unta yang engkau sedekahkan dan diterima oleh Allah.
Dan bacalah tahlil seratus kali, maka ia akan memenuhi antara langit dan bumi.
Dan pada hari itu tidak ada amal seorang-pun yang diunggulkan atas kamu kecuali
orang yang melakukan seperti yang engkau lakukan”. -
Hadis ini dihasankan oleh al-Hafizh al-Haitsami dan al-Hafizh
al-Mundziri dalam kitabnya at-Targhib Wa at-Tarhib.
Faedah Hadis
Hadis-hadis ini
menunjukkan ada beberapa jumlah untuk dizikir zikir tertentu; seratus atau dua
ratus kali, tanpa melarang jika dilebihkan - bahkan ia dianjurkan. Di akhir
hadis tersebut disebutkan bahawa yang bisa menyamai orang-orang yang berzikir
dengan bilangan-bilangan tersebut adalah orang yang berzikir dengan jumlah yang
sama atau lebih banyak dari pada itu. Ertinya dianjurkan untuk berdzikir dengan
jumlah yang lebih banyak dari yang disebutkan. Oleh kerana para ulama kita yang
merupakan Ahl al-‘Ilm Wa al-Fahm berkata:
“Adanya hadis-hadis
yang dianjur untuk membaca zikir tertentu dengan bilangan tertentu tidak
bererti haram jika kita berzikir kurang dari bilangan tersebut atau lebih
darinya. Apa yang dimaksud oleh hadis-hadis tersebut adalah untuk menunjukkan
keutamaan tertentu, bagi zikir tertentu, dengan jumlah tertentu pula. Sementara
itu dari sudut lain banyak sekali ayat dan hadis-hadis yang secara mutlak
menganjurkan zikir tanpa menyebutkan jumlah atau bilangan tertentu. Bahkan
banyak ayat dan hadis-hadis yang menunjukkan anjuran untuk berzikir
sebanyak-banyaknya”.
Dengan demikian
berzikir dengan jumlah berapa pun adalah diperbolehkan, kerana anjuran untuk
memperbanyakkan zikir bersifat umum tanpa dibatasi oleh bilangan tertentu.
Allah berfirman;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا
اذْكُرُوا
اللَّهَ
ذِكْرًا
كَثِيرًا،
وَسَبِّحُوهُ
بُكْرَةً
وَأَصِيلًا
(الأحزاب:
41-42)
“Wahai orang-orang
beriman, berzikirlah kalian (menyebut nama Allah), dengan zikir yang
sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang”
- surah al-Ahzab: 41-42
Dalam ayat lain,
Allah berfirman;
(وَالذَّاكِرِينَ
اللَّهَ
كَثِيرًا
وَالذَّاكِرَاتِ
أَعَدَّ
اللَّهُ
لَهُمْ
مَغْفِرَةً
وَأَجْرًا
عَظِيمً
(الأحزاب:
35
“Laki-laki dan
perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk
mereka ampunan dan pahala yang besar”. -
surah al-Ahzab: 35
Dalam sebuah hadis,
Rasulullah bersabda;
أَكْثِرْ مِنْ
قَوْلِ
لاَ
حَوْلَ
وَلاَ
قُوَّةَ
إِلاَّ
بِاللهِ
(رواه
ابن
أبي
شيبة
وحسّن
إسناده
الحافظ
ابن
حجر)
“Perbanyaklah membaca
“La Haula Wa La Quwwata Illa Billah”. - HR Ibn Abi Syaibah dan dinilai Hasan
oleh al-Hafizh Ibn Hajar
Dalam hadis lain
Rasulullah bersabda;
اِسْتَكْثِرُوْا مِنَ
البَاقِيَاتِ
الصَّالِحَاتِ
،
قيل
:وَمَا
هِيَ
يَا
رَسُوْلَ
اللهِ
؟
قَالَ:
التَّكْبِيْرُ
وَالتَّهْلِيْلُ
وَالتَّحْمِيْدُ
وَالتَّسْبِيْحُ
وَ
لاَ
حَوْلَ
وَلاَ
قُوَّةَ
إِلاَّ
بِاللهِ
(رواه
ابن
حبان
والحاكم
وصحّحاه
وأحمد
وأبو
يعلى
وإسناده
حسن)
“Perbanyaklah oleh
kalian dari al-Baqiyat ash-Shalihat! Kemudian ditanyakan kepada Rasulullah:
Apakah al-Baqiyat ash-Shalihat itu wahai Rasulullah? Beliau menjawab: “Takbir,
Tahlil, Tahmid, Tasbih dan La Haula Wa La Quwwata Illa Billah”. - HR.
Ibn Hibban, al-Hakim dan keduanya menyatakan soheh. Juga diriwayatkan oleh
Ahmad dan Abu Ya’la dengan sanad yang hasan.
Kedua ayat dan kedua
hadis tersebut menganjurkan untuk diperbanyak zikir tanpa dibatasi dengan
bilangan tertentu. Melainkan dengan sebanyak mana yang diinginkan. Banyak -
bererti ratusan atau ribuan. Dengan demikian boleh bagi seseorang untuk
merutinkan zikir tertentu dengan bilangan tertentu, baik ratusan, ribuan, lebih
dari pada itu, atau kurang dari pada itu. Bukankah amalan yang paling dicintai
oleh Allah adalah yang ditetapkan berterusan meskipun sedikit. Rasulullah
bersabda;
وَإِنَّ أَحَبَّ
الأَعْمَالِ
إِلَى
اللهِ
مَا
دُوْوِمَ
عَلَيْهِ
وَإِنْ
قَلَّ
(أخرجه
مسلم
في
صحيحه)
“Dan sesungguhnya
amal yang paling dicintai oleh Allah adalah yang terus menerus dirutinkan
meskipun sedikit”. - HR. Muslim
Dari penjelasan di
atas dapat disimpulkan bahawa dalam berzikir boleh dengan bilangan tertentu
seperti jumlah yang disebutkan dalam hadits. Juga boleh berzikir dengan
bilangan yang ia tentukan sendiri, yang ia rutinkannya. Boleh juga berzikir
sebanyak-banyaknya berapa pun jumlahnya tanpa batas tertentu, atau bahkan tanpa
dikira sekalipun.
Berzikir Menggunakan
Tasbih
Al-Muhaddits asy-Syekh
as-Sayyid ‘Abdullah al-Ghumari dalam Itqan ash-Shan’ah Fi Tahqiq Ma’na
al-Bid’ah, menuliskan sebagai berikut:
وَالسُّبْحَةُ تَضْبِطُ
الأَعْدَادَ
الْمَأْثُوْرَةَ،
وَلِلْوَسَائِلِ
حُكْمُ
الْمَقَاصِدِ،
فَالسُّبْحَةُ
مَشْرُوْعَةٌ.
“Tasbih bisa mengira
jumlah zikir yang dianjurkan dalam sunah. Oleh kerana alat-alat untuk ibadah
memiliki hukum yang sama dengan tujuannya sendiri; iaitu ibadah, maka tasbih
juga disyari’atkan (ertinya, kerana zikir disyari’atkan maka alat untuk
berzikir-pun mesti disyari’atkan)” [Itqan ash-Shun’ah, h. 45].
Para ulama menyatakan
bahwa berzikir dengan menggunakan tasbih hukumnya boleh berdasarkan hadis-hadis
berikut;
a) Hadits riwayat
Sa’d ibn Abi Waqas bahawa dia bersama Rasulullah melihat seorang perempuan
sedang berzikir. Di depan perempuan tersebut terdapat biji-bijian atau kerikil
yang dia digunakan untuk mengira zikirnya. Lalu Rasulullah berkata kepadanya;
أُخْبِرُكِ بِمَا
هُوَ
أَيْسَرُعَلَيْكِ
مِنْ
هَذَا
أَوْ
أَفْضَلُ،
سُبْحَانَ
اللهِ
عَدَدَ
مَا
خَلَقَ
فِيْ
السَّمَاءِ
وَسُبْحَانَ
اللهِ
عَدَدَ
مَا
خَلَقَ
فِيْ
الأَرْضِ
وَسُبْحَانَ
اللهِ
عَدَدَ
مَا
بَيْنَ
ذلِكَ
وَسُبْحَانَ
اللهِ
عَدَدَ
مَا
هُوَ
خَالِقٌ
وَاللهُ
أَكْبَرُ
مِثْلَ
ذلِكَ
وَالْحَمْدُ
لله
مِثْلَ
ذلِكَ
وَلاَ
إِلهَ
إِلاَّ
اللهُ
مِثْلَ
ذلِكَ
وَلاَ
حَوْلَ
وَلاَ
قُوَّةَ
إِلاَّ
بِاللهِ
مِثْلَ
ذلِكَ
(رواه
الترمذي
وحسّنه
وصحّحه
ابن
حبّان
والحاكم
وحسّنه
الحافظ
ابن
حجر
في
تخريج
الأذكار)
“Aku beritahu kamu
cara yang lebih mudah dari ini atau lebih afdal. Bacalah:“Subhanallah ‘Adada Ma
Khalaqa Fi as-Sama’, Subhanallah ‘Adada Ma Khalaqa Fi al-Ardl, Subhanallah
‘Adada Ma Baina Dzalika, Subhanallah ‘Adada Ma Huwa Khaliq”,(Subhanallah - maha
suci Allah- sebanyak makhluk yang Dia ciptakan di langit, Subhanallah sebanyak
makhluk yang Dia ciptakan di bumi, Subhanallah sebanyak makhluk yang Dia
ciptakan di antara langit dan bumi, Subhanallah sebanyak semua makhluk yang Dia
ciptakan). Kemudian baca “Allahu Akbar” seperti itu. Lalu baca “Alhamdulillah”
seperti itu. Dan baca “La Ilaha Illallah” seperti itu. Serta baca “La Hawla Wala
Quwwata Illa Billah” seperti itu. - HR. at-Tirmidzi dan dinilainya Hasan.
Dinyatakan Shahih oleh Ibn Hibban dan al-Hakim. Serta dinilai Hasan oleh
al-Hafizh Ibn Hajar dalam Takhrij al-Adzkar.
b) Hadits
diriwayatkan dari Umm al-Mukminin, salah seorang isteri Rasulullah bernama
Shafiyyah. Bahawa beliau (Shafiyyah) berkata;
دَخَلَ عَلَيَّ رَسُوْلُ
اللهِ
صَلّى
اللهُ
عَليهِ
وَسَلّمَ
وَبَيْنَ
يَدَيَّ
أَرْبَعَةُ
آلاَفِ
نَوَاةٍ
أُسَبِّحُ
بِهَا،
فَقَالَ:
لَقَدْ
سَبَّحْتِ
بِهَذَا؟
أَلاَ
أُعَلِّمُكِ
بِأَكْثَرَ
مِمَّا
سَبَّحْتِ
بِهِ؟
فَقَالَتْ:
عَلِّمْنِيْ،
فَقَالَ:
قُوْلِيْ
سُبْحَانَ
اللهِ
عَدَدَ
مَا
خَلَقَ
مِنْ
شَىْءٍ
(رواه
الترمذي
والحاكم
والطبرانيّ
وغيرهم
وحسّنه
الحافظ
ابن
حجر
في
تخريج
الأذكار)
“Suatu ketika
Rasulullah menemuiku dan ketika itu ada di hadapanku empat ribu biji-bijian
yang aku gunakan untuk berzikir. Lalu Rasulullah berkata: Kamu telah bertasbih
dengan biji-bijian ini? Maukah kamu aku ajari yang lebih banyak dari ini?
Shafiyyah menjawab: Iya, ajarkanlah kepadaku. Lalu Rasulullah bersabda:
“Bacalah:“Subhanallah ‘Adada Ma Khalaqa Min Sya’i” - HR.
at-Tirmidzi, al-Hakim, ath-Thabarani dan lainnya, dan dihasankan oleh al-Hafizh
Ibn Hajar dalam kitab Nata-ij al-Afkar Fi Takhrij al-Adzkar.
Faedah Hadis
Dalam dua hadis ini
Rasulullah mendiamkan, ertinya menyetujui (iqrar), dan tidak mengingkari
sahabat yang berzikir dengan biji-bijian dan kerikil tersebut. Rasulullah hanya
menunjukkan kepada yang lebih afdal dari menghitung zikir dengan biji-bijian
atau kerikil. Dan ketika Rasulullah menunjukkan kepada sesuatu yang lebih afdal
(al-afdlal), hal ini bukan bererti untuk menafikan yang sudah ada(al-mafdlul).
Ertinya, yang sudah adapun (al-mafdlul) boleh dilakukan.
Dari iqrar Rasulullah
ini dapat diambil dalil bahawa bertasbih dengan kerikil atau biji-bijian ada
keutamaan atau faedah pahalanya. Seandainya tidak ada keutamaan, bererti
Rasulullah menyetujui ibadah yang sia-sia, yang tidak berpahala, dan jelas hal
ini tidak mungkin terjadi. Rasulullah tidak akan mendiamkan sesuatu yang tidak
ada gunanya.
Syekh Mulla ‘Ali
al-Qari ketika menjelaskan hadits Sa’d ibn Abi Waqas di atas, dalam kitab Syarh
al-Misykat, menuliskan sebagai berikut;
وَهذَا أَصْلٌ صَحِيْحٌ
لِتَجْوِيْزِ
السُّبْحَةِ
بِتَقْرِيْرِهِ
صَلّى
اللهُ
عَليْهِ
وَسَلّمَ
فَإِنَّهُ
فِيْ
مَعْنَاهَا،
إِذْ
لاَ
فَرْقَ
بَيْنَ
الْمَنْظُوْمَةِ
وَالْمَنْثُوْرَةِ
فِيْمَا
يُعَدُّ
بِهِ.
“Ini adalah dasar
yang soheh untuk membolehkan penggunaan tasbih, kerana tasbih ini semakna
dengan biji-bijian dan kerikil tersebut. Kerana tidak ada bezanya antara yang
tersusun rapi (diuntai dengan tali) atau yang terpencar (tidak teruntai) bahawa
setiap itu semua adalah alat untuk menghitung zikir” [Syarh al-Misykat, j. 3,
h. 54].
c) Hadits ‘Ali bin
Abi Thalib bahwa Rasulullah bersabda;
نِعْمَ الْمُذَكِّرُ السُّبْحَةُ
(رواه
الديلميّ
في
مسند
الفردوس)
“Sebaik-baik
pengingat kepada Allah adalah tasbih” -
HR. ad-Dailami dalam Musnad al-Firdaus
Faedah Hadits:
Hadis ini adalah
hadis dho’if. Hadits ini bukan maudlu’ (palsu) seperti yang dikatakan oleh
Nashiruddin al-Albani. Hadis ini mendukung dua hadis soheh di atas yang
membolehkan kita bertasbih dengan tasbih. Maka hadis ini boleh dimaknai: bahwa
“Sebaik-baik pengingat kepada Allah adalah alat zikir yang dinamakan tasbih”.
Al-Muhaddits
asy-Syekh ‘Abdullah al-Harari dalam risalahnya berjudul at-Ta’aqqub al-Hatsits
‘Ala Man Tha’ana Fima Shahha Min al-Hadits, menuliskan sebagai berikut;
ثُمَّ حَاصِلُ بَحْثِنَا
أَنَّ
الَّذِيْ
تُعْطِيْهِ
الْقَوَاعِدُ
الْحَدِيْثِيَّةُ
أَنَّ
حَدِيْثَ:
نِعْمَ
الْمُذَكِّرُ
السُّبْحَةُ
ضَعِيْفٌ
بِهذَا
السَّنَدِ
لَكِنَّهُ
لاَ
يُمْنَعُ
الْعَمَلُ
بِهِ،
وَإِنَّمَا
يُمْنَعُ
الْعَمَلُ
بِالضَّعِيْفِ
– سِوَى
الْمَوْضُوْعِ-
إِذَا
كَانَ
شَدِيْدَ
الضَّعْفِ
وَهُوَ
الَّذِيْ
يَنْفَرِدُ
بِهِ
كَذَّابٌ،
أَوْ
مُتَّهَمٌ
بِالْكَذِبِ،
أَوْ
مَنْ
فَحُشَ
غَلَطُهُ،
فَهذَا
السَّنَدُ
لاَ
يُعْلَمُ
فِيْهِ
أَحَدٌ
مِنْ
هؤُلاَءِ،
وَلاَ
نَصَّ
أَحَدٌ
مِنَ
الْحُفَّاظِ
بِهذَا
التَّفَرُّدِ
فِيْهِ،
وَيَنْطَبِقُ
عَلَيْهِ
الشَّرْطُ
الآخَرُ
وَهُوَ
الدُّخُوْلُ
تَحْتَ
أَصْلٍ
عَامٍّ.
وَالأَصْلُ
العَامُّ
هُنَا
مَا
يُؤْخَذُ
مِنْ
حَدِيْثِ
التَّسْبِيْحِ
بِالْحَصَى
مِنْ
صِحَّةِ
الاسْتِعَانَةِ
عَلَى
الضَّبْطِ
لِلْعَدَدِ
بِكُلِّ
مَا
هُوَ
فِيْ
مَعْنَاهَا،
فَلاَ
مَانِعَ
مِنْ
جِهَةِ
الْحَدِيْثِ
مِنَ
الْعَمَلِ،
عَلَى
أَنَّهُ
قَدْ
جَوَّزَ
الْعَمَلَ
بِالْحَدِيْثِ
الضَّعِيْفِ
مِنْ
غَيْرِ
قَيْدٍ
بَعْضُ
أَهْلِ
الْحَدِيْثِ
كَأَحْمَدَ
بْنِ
حَنْبَلٍ
وَأَبِيْ
دَاوُدَ
وَابْنِ
مَهْدِيٍّ
وَابْنِ
الْمُبَارَكِ
كَمَا
فِيْ
التَّدْرِيْبِ
وَغَيْرِهِ
مِنْ
كُتُبِ
الاصْطِلاَحِ.
“Kemudian kesimpulan
pembahasan kita sesuai kaedah-kaedah ilmu hadis, bahawa hadits “Ni’ma
al-Mudzkkir as-Subhah” adalah dho’if dengan sanad ini. Tetapi tidaklah dilarang
mengamalkan hadis ini. Melainkan yang dilarang adalah mengamalkan hadits dho'if
-selain maudlu’ (palsu)- apabila hadis tersebut sangat lemah (Syadid
adl-dho’if). Hadis yang sangat lemah adalah hadits yang hanya diriwayatkan oleh
seorang kadzdzab (pendusta), atau dituduh berdusta atau sangat parah
kesalahannya dalam meriwayatkan hadis. Sedangkan dalam sanad hadis ini tidak
terdapat perawi-perawi seperti itu, dan tidak ada seorang ahli hadis pun yang
menyatakan adanya tafarrud di dalamnya (hanya diriwayatkan oleh perawi dengan
sifat-sifat yang disebutkan).
"Dalam hadits
ini juga terdapat syarat lain (untuk dibolehkan mengamalkan hadis dho’if yang
bukan maudlu’ dan bukan Syadid adl-dho'if), iaitu masuk dalam dalil umum. Dan
dalil umum dalam masalah ini diambil dari hadis bertasbih dengan kerikil dari
sisi bahawa dibenarkan menggunakan alat untuk mengira jumlah zikir dengan
apapun yang semakna dengan kerikil. Jadi jika dilihat keadaan hadits ini, tidak
ada larangan untuk mengamalkannya. Apalagi ada sebagian ahli hadit\s seperti
Al-Imam Ahmad ibn Hanbal, Abu Dawud, Ibn Mahdi, Ibn al-Mubarak yang membolehkan
mengamalkan hadits dho’if tanpa syarat atau ketentuan apapun seperti disebutkan
dalam Tadrib ar-Rawi dan buku-buku ilmu Musthalah al-Hadits yang lain”
[at-Ta’qqub al-Hatsits, h. 64-65].
Al-Muhaddits
asy-Syekh ‘Abdullah al-Ghumari dalam 'Itqan ash-Shun’ah Fi Tahqiq Ma’na
al-Bid’ah', hlm. 45-46, menegaskan bahawa ketika orang berzikir menggunakan
biji-bijian, kerikil atau tasbih, sesungguhnya dia menghitung zikir dengan
jari-jari tangannya juga, kerana dia menggunakan jari-jarinya untuk mengambil
dan memegang biji-bijian atau kerikil tersebut.
Ia juga menggunakan
jari-jemarinya untuk menggerakkan dan memutar tasbih tersebut. Ini bererti ia
memperoleh pahala seperti halnya apabila dia hanya menggunakan jari-jarinya
untuk menghitung zikir tersebut. Dengan menghitung zikir dengan biji-bijian,
kerikil atau tasbih, bererti masuk dalam kesunnahan berzikir dengan menggunakan
jari-jari tangan yang disebutkan dalam hadits Yusairah[Itqan ash-Shun’ah, h.
45-46]. Dalam hadits Yusairah ini Rasulullah bersabda;
عَلَيْكُنَّ بِالتَّسْبِيْحِ
وَالتَّهْلِيْلِ
وَالتَّقْدِيْسِ،
وَلاَ
تَغْفُلْنَ
فَتَنْسَيْنَ
الرَّحْمَةَ،
وَاعْقِدْنَ
بِالأَنَامِلِ
فَإِنَّهُنَّ
مَسْئُوْلاَتٌ
مُسْتَنْطَقَاتٌ
(أخرجه
ابن
أبي
شيبة
وأبو
داود
والترمذيّ)
“Bacalah oleh kalian
tasbih, tahlil dan taqdis, dan jangan lupa memohon rahmat Allah, dan hitunglah
dengan jari-jari tangan kerana nanti di akhirat jari-jari tersebut akan ditanya
dan nantinya akan berbicara dan menjawab”. -
HR. Ibn Abi Syaibah, Abu Dawud dan at-Tirmidzi
Antara Menghitung Zikir
Dengan Jari Atau Tasbih
Zikir yang dibaca
oleh seseorang jika dihitung dengan jari-jari tangan kanan itu lebih afdal. Ia
adalah yang dianjurkan oleh Rasulullah (warid) dengan perkataan dan dengan
perbuatannya sendiri. Sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Abdullah ibn ‘Umar bahawa
Rasulullah ketika bertasbih baginda menghitungnya dengan jari-jari tangan
kanannya - HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, al-Hakim dan
al-Baihaqi dalam Sunan-nya.
Namun demikian, hal
ini bukan bererti menghitung zikir dengan sesuatu yang lain itu dikira sebagai
tidak boleh, walaupun memang yang lebih afdal ialah menghitung dengan jari-jari
tangan. Dengan dalil bahawa suatu ketika Rasulullah mendapati salah seorang
isterinya yang bernama Shafiyah meletakkan empat ribu biji kurma di hadapannya
yang digunakan untuk menghitung tasbihnya (HR. at-Tirmidzi, al-Hakim,
ath-Thabarani dan lainnya). Dalam hadits ini Rasulullah tidak melarang, serta
tidak mengingkari perbuatan Shafiyyah tersebut. Rasulullah hanya menunjukkan
kepada Shafiyah terhadap yang lebih mudah dan lebih afdlal, seperti yang telah
kita kemukakan di atas dengan dalil-dalilnya.
Demikian juga ada
beberapa sahabat lain yang menghitung bacaan zikirnya dengan biji kurma,
kerikil atau benang yang disimpulkan. Di antaranya sahabat Abu Shafiyyah; salah
seorang bekas budak Rasulullah, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad ibn
Hanbal dalam kitab az-Zuhd, dan kitab al-Jami’ fi al-‘Ilal wa Ma’rifat
ar-Rijal. Juga seperti yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Baghawi dalam kitab
Mu’jam ash-Shahabah. Termasuk di antaranya sahabat Sa’d ibn Abi Waqas,
sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf, dan Ibn
Sa’d dalam kitab ath-Thabaqaat. Juga di antaranya sahabat Abu Hurairah, seperti
yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah ibn Ahmad dalam kitab Zawaa-id az-Zuhd,
al-Hafizh Abu Nu’aim dalam kitab Hilyah al-Auliya’, serta diriwayatkan
adz-Dzahabi dalam kitab Tadzkirah al-Huffazh dan kitab Siyar A’lam an-Nubala’.
Kemudian pula di antaranya sahabat Abu ad-Darda’, sebagaimana diriwayatkan oleh
al-Imam Ahmad ibn Hanbal dalam kitab az-Zuhd, dan lainnya.
Dari sini para ulama
menyimpulkan bahawa hukum menghitung zikir dengan tasbih atau semacamnya adalah
boleh, tidak haram, walaupun yang lebih baik (afdhal)menghitungnya dengan jari
tangan kanan. Hukum yang serupa dengan ini adalah tentang solat rawatib
al-Faraidl (Qabliyyah dan Ba’diyyah). Bahawa yang lebih afdhal solat sunnah
rawatib tersebut dilaksanakan di rumah, namun bukan bererti haram jika solat
sunnah tersebut dilakukan di mesjid.
Bahkan al-Faqih
al-‘Allamah Ibn Hajar al-Haitami dalam kitab al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah,
menuliskan bahawa sebagian ulama telah merinci tentang keutamaan berzikir
antara dengan jari-jari atau dengan untaian tasbih. Beliau menuliskan sebagai
berikut:
إِنْ أَمِنَ الْمُسَبِّحُ
الْغَلَطَ
كَانَ
عَقْدُهُ
بِالأَنَامِلِ
أَفْضَلَ،
وَإِلاَّ
فَالسُّبْحَةُ
أَفْضَلُ.
“Jika orang yang
berzikir tidak khuatir salah kira maka mengira zikir dengan jari-jari tangan
hukumnya lebih afdhal. Namun jika ia khuatir salah hitung maka menghitung
dengan tasbih lebih afdhal” [al-Fatwa al-Kubra, j. 1, h. 152].
Amaliah para ulama
salaf dan khalaf
Berikut ini
sebahagian para ulama alaf dan para ulama khalaf yang berzikir menggunakan
kerikil, biji kurma, atau semacam ikatan yang disimpulkan menjadi untaian
tasbih. Di antaranya ialah:
i. Shafiyyah. Beliau
adalah Umm al-Mu’minin, salah seorang isteri Rasulullah. Dalam mengira zikir
beliau menggunakan biji-biji kurma atau kerikil-kerikil seperti yang telah
disebutkan. Hadis ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, al-Hakim, dan
ath-Thabarani.
ii. Abu Shafiyyah.
Beliau adalah salah seorang bekas budak Rasulullah. Dalam menghitung zikirnya
beliau menggunakan batu kerikil atau biji kurma. Hadis ini dituturkan oleh
al-Imam al-Baghawi dalam kitab Mu’jam ash-Shahabah, al-Hafizh Ibn ‘Asa-kir
dalam kitab Tarikh Dimasyq, al-Imam Ahmad ibn Hanbal dalam kitab az-Zuhd dan
kitab al-Jami’ Fi al-‘Ilal Wa Ma’rifah ar-Rijal, al-Imam al-Bukhari dalam kitab
at-Tarikh al-Kabir, al-Imam Ibn Abi Hatim dalam kitab al-Jarh Wa at-Ta’dil, Ibn
Sayyid an-Nas dalam kitab ‘Uyun al-Atsar, al-Imam al-Baihaqi dalam kitab Syu’ab
al-Iman, dan Ibn Katsir dalam al-Bidayah Wa an-Nihayah.
iii. Sa’ad ibn Abi
Waqas. Beliau adalah salah seorang sahabat Rasulullah yang terkemuka. Dalam
berzikir beliau menggunakan kerikil dan biji-biji kurma. Diriwayatkan oleh Ibn
Sa’d dalam kitab ath-Thabaqat al-Kubra, dan Ibn Abi Syaibah dalam kitab
al-Mushannaf.
iv. Abu Hurairah.
Sahabat Rasulullah terkemuka ini memiliki benang dengan simpulannya sebanyak
dua ribu bundelan. Sebelum tidur beliau berzikir dengan menggunakan alat ini
hingga selesai. Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam kitab Hilyah
al-Awliya’, ‘Abdullah ibn Ahmad dalam kitab Zawa-id az-Zuhd, adz-Dzahabi dalam
kitab Tadzkirah al-Huffazh dan Siyar A’lam an-Nubala’. Juga diriwayatkan bahwa
Abu Hurairah berzikir dengan mempergunakan biji kurma atau kerikil sebagaimana
disebutkan oleh Abu Dawud dalam kitab Sunan, dan Ahmad ibn Hanbal dalam kitab
Musnad.
v. Abu ad-Darda’.
Sahabat Rasulullah ini berzikir dengan biji kurma ‘Ajwah, sebagaimana
diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad ibn Hanbal dalam kitab az-Zuhd.
vi. Abu Sa’id
al-Khudri. Sahabat Rasulullah ini berdzikir dengan biji-bijian seperti yang
dituturkan oleh Ibn Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf.
vii. Abu Muslim
al-Khaulani, sebagaimana dituturkan oleh Abu al-Qasim ath-Thabari.
viii. Al-Imam al-Junaid
al-Baghdadi. Beliau adalah pemimpin kaum sufi (Sayyid ath-Tha’ifah
ash-Shufiyyah). Dalam berdzikir beliau mempergunakan untaian tasbih,
sebagaimana dituturkan oleh Ibn Khallikan dalam kitab Wafayat al-A’yan,
al-Hafizh al-Khathib al-Baghdadi dalam kitab Tarikh Baghdad, dan al-Qadli
‘Iyadl dalam kitabal-Ghun-yah --Fahrasah Syuyukh al-Qadli ‘Iyadl--).
ix. Al-Hafizh
al-Muhaddits al-Mujtahid Yahya ibn Sa’id al-Qaththan. Beliau adalah ulama
terkemuka yang telah mencapai darjat mujtahid mutlak. (w 198 H). dalam berzikir
selalu mempergunakan untaian tasbih, seperti yang dituturkan oleh adz-Dzahabi
dalam kitab Tadzkirah al-Huffazh dan kitab Siyar A’lam an-Nubala’.
x. Al-Hafizh Ibn
Hajar al-‘Asqalani. Ahli hadis terkemuka yang digelar dengan “Amir al-Mu’minin
Fi al-Hadis”. Dalam berdzikir beliau mempergunakan untaian tasbih, sebagaimana
diituturkan oleh muridnya sendiri, iaitu al-Hafizh as-Sakhawi dalam kitab
al-Jawahir Wa ad-Durar.
xi. Abu Sa’id ‘Abd
as-Salam ibn Sa’id ibn Hubaib al-Maliki (w 240 H) yang lebih dikenal dengan
nama Sahnun. Beliau mengalungkan tasbih di lehernya dan berzikir dengannya,
seperti yang dituturkan oleh adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam an-Nubala’.
xii. Al-Kharsyi
al-Maliki (w 1101 H). Penulis Hasyiyah ‘Ala Mukhtashar Khalil, atau yang disebut
dengan Hasyiyah al-Kharsyi.
Pendapat sebahagian
ulama tentang tasbih
A. Perkataan
al-Junaid al-Baghdadi. Al-Qadli ‘Iyadl al-Maliki dalam kitab al-Ghun-yah,
(Fahrasat Syuyukh al-Qadli ‘Iyadl). (Kitab berisi tentang guru-guru al-Qadli
‘Iyadl sendiri), meriwayatkan dari salah seorang gurunya, bahAwa guru al-Qadli
‘Iyadl ini berkata:
سَمِعْتُ أَبَا
إِسْحَاقَ
الْحَبَّالَ
يَقُوْلُ:
سَمِعْتُ
أَبَا
الْحَسَنِ
بْنَ
الْمُرْتَفِقَ
الصُّوْفِيَّ
يَقُوْلُ:
سَمِعْتُ
أَبَا
عَمْرِو
بْنَ
عَلْوَانَ
وَقَدْ
رَأَيْتُ
فِيْ
يَدِهِ
سُبْحَةً
فَقُلْتُ:
يَا
أُسْتَاذُ
مَعَ
عَظِيْمِ
إِشَارَتِكَ
وَسَنِيِّ
عِبَارَتِكَ
وَأَنْتَ
مَعَ
السُّبْحَةِ
فَقَالَ
لِيْ:
كَذَا
رَأَيْتُ
الْجُنَيْدَ
بْنَ
مُحَمَّدٍ
وَفِيْ
يَدِهِ
سُبْحَةٌ
فَسَأَلْتُهُ
عَمَّا
سَأَلْتَنِيْ
عَنْهُ
فَقَالَ
لِيْ:
كَذَا
رَأَيْتُ
أُسْتَاذِيْ
بِشْرَ
بْنَ
الْحَارِثِ
وَفِيْ
يَدِهِ
سُبْحَةٌ
فَسَأَلْتُهُ
عَمَّا
سَأَلْتَنِيْ
عَنْهُ
فَقَالَ
لِيْ:
كَذَا
رَأَيْتُ
عَامِرَ
بْنَ
شُعَيْبٍ
وَفِيْ
يَدِهِ
سُبْحَةٌ
فَسَأَلْتُهُ
عَمَّا
سَأَلْتَنِيْ
عَنْهُ
فَقَالَ
لِيْ:
كَذَا
رَأَيْتُ
أُسْتَاذِيْ
الْحَسَنَ
بْنَ
أَبِيْ
الْحَسَنِ
الْبِصْرِيَّ
وَفِيْ
يَدِهِ
سُبْحَةٌ
فَسَأَلْتُهُ
عَمَّا
سَأَلْتَنِيْ
عَنْهُ
فَقَالَ
لِيْ:
يَا
بُنَيَّ،
هذَا
شَىْءٌ
كُنَّا
اسْتَعْمَلْنَاهُ
فِيْ
الْبِدَايَاتِ
مَا
كُنَّا
بِالَّذِيْ
نَتْرُكُهُ
فِيْ
النِّهَايَاتِ،
أُحِبُّ
أَنْ
أَذْكُرَ
اللهَ
تَعَالَى
بِقَلْبِيْ
وَيَدِيْ
وَلِسَانِيْ.
“Aku mendengar Abu
Ishaq al-Habbal berkata: Aku mendengar Abu al-Hasan ibn al-Murtafiq ash-Shufi
berkata: Aku mendengar Abu ‘Amr ibn ‘Alwan berkata ketika aku melihat tasbih di
tangannya dan aku berkata kepadanya: “Wahai Guruku, dengan keagungan isyaratmu
dan ketinggian tutur katamu masih juga-kah engkau menggunakan tasbih.”.
Beliau berkata
kepadaku: “Demikian ini aku melihat al-Junaid ibn Muhammad dan di tangannya ada
tasbih, lalu aku bertanya kepadanya tentang apa yang engkau tanyakan kepadaku,
maka al-Junaid berkata kepadaku: Demikian ini aku melihat guruku Bisyr ibn
al-Harits dan di tangannya ada tasbih, lalu aku bertanya kepadanya tentang apa
yang engkau tanyakan kepadaku, maka Bisyr berkata kepadaku: Demikian ini aku
melihat ‘Amir ibn Syu’aib dan di tangannya ada tasbih, lalu aku bertanya
kepadanya tentang apa yang engkau tanyakan kepadaku, maka ‘Amir berkata
kepadaku: Demikian ini aku melihat guruku; al-Hasan ibn Abu al-Hasan al-Bashri
dan di tangannya ada tasbih, lalu aku bertanya kepadanya tentang apa yang
engkau tanyakan kepadaku, maka al-Hasan berkata kepadaku: “Wahai anak-ku,
tasbih ini adalah alat yang kita pakai saat kita memulai mujahadah kita, dan
kita tidak akan pernah meninggalkannya di saat kita telah sampai pada puncak
tingkatan kita sekarang. Aku ingin berzikir; menyebut Allah dengan hati, tangan
dan lidahku” [al-Ghunyah, h. 180-181].
B. al-Imam an-Nawawi
(w 676 H) dalam kitab Tahdzib al-Asma’ Wa al-Lughat, menuliskan sebagai
berikut:
وَالسُّبْحَةُ بِضَمِّ
السَّيْنِ
وَإِسْكَانِ
الْبَاءِ
خَرَزٌ
مَنْظُوْمَةٌ
يُسَبَّحُ
بِهَا
مَعْرُوْفَةٌ
تَعْتَادُهَا
أَهْلُ
الْخَيْرِ
مَأْخُوْذَةٌ
مِنَ
التَّسْبِيْحِ.
“Subhah - dengan
harakat dlammah pada huruf sin dan ba’ yang di-sukun-kan - adalah sesuatu yang
dirangkai dan digunakan untuk berzikir, umum diketahui dan biasa digunakan oleh
Ahl al-Khair. Subhah diambil dari kata Tasbih” [Tahdzib al-Asma’ Wa al-Lughat,
j. 3, h. 143-144].
Mari kita renungkan
perkataan al-Imam an-Nawawi: “Ta’taduha Ahl al-Khair”, Ertinya; Tasbih adalah
alat yang biasa digunakan oleh Ahl al-Khair, yakni biasa digunakan oleh para
Atqiya’, orang-orang yang mulia dan orang-orang soleh, serta lainnya. Demikian
juga para wali Allah menggunakannya. Apakah layak bila di kemudian hari ada
orang berkata: “Menggunakan tasbih adalah kebiasaan ahli bid’ah dan orang-orang
musyrik?!”. Hasbunallah.
C. al-‘Allamah
asy-Syaikh Ibn ‘Allan dalam Syarh al-Adzkar, menulis;
وَحَاصِلُ ذلِكَ
أَنَّ
اسْتِعْمَالَهَا
فِيْ
أَعْدَادِ
الأَذْكَارِ
الْكَثِيْرَةِ
-الَّتِيْ
يُلْهِيْ
الاشْتِغَالُ
بِهَا
عَنْ
التَّوَجُّهِ
لِلذِّكْرِ-
أَفْضَلُ
مِنَ
الْعَقْدِ
بِالأَنَامِلِ
وَنَحْوِهِ،
وَالْعَقْدُ
بِالأَنَامِلِ
فِيْمَا
لاَ
يَحْصُلُ
فِيْهِ
ذلِكَ
سِيَّمَا
الأَذْكَارُ
عَقِبَ
الصَّلاَةِ
وَنَحْوُهَا
أََفْضَلُ،
وَاللهُ
أَعْلَمُ.
“Kesimpulannya,
bahawa menggunakan tasbih dalam bilangan atau jumlah dzikir yang banyak - yang
jika seseorang sibuk dengan bilangan yang banyak tersebut hingga dia tidak
dapat konsentrasi dalam zikir- hal itu lebih afdal daripada menghitung dengan
jari-jari tangan dsb. Sedangkan menghitung dengan jari-jari tangan dalam zikir
yang tidak mengganggu konsentrasinya, apa lagi seperti zikir selepas solat dsb,
maka itu lebih afdal (dari pada menghitung dengan tasbih)” [Syarah al-Adzkar,
j. 1, h. 252].
Ada banyak daripada
para ulama kita yang membolehkan berzikir dengan mempergunakan tasbih. Bahkan
banyak pula di antara mereka yang menulis karangan khusus tentang kebolehan
berzikir dengan tasbih ini. Di antaranya adalah: al-Hafizh as-Suyuthi yang
telah menulis risalah berjudul al-Minhah Fi as-Subhah, al-Hafizh Ibn Thulun
menulis al-Mulhah Fima Warada Fi Ashl as-Subhah, Ibn Hamdun dalam Hasyiyah-nya,
Ibn Hajar al-Haytami dalam al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah, al-Muhaddits
Muhammad Ibn ‘Allan ash-Shiddiqi asy-Syafi’i dalam I-qad al-Mashabih Li
Masyru’iyyah Ittikhadz al-Masabih, Muhammad Amin ibn ‘Umar yang lebih dikenal
dengan nama Ibn ‘Abidin dalam Hasyiyah Radd al-Muhtar ‘Ala ad-Durr al-Mukhtar,
al-Muhaddits Syekh ‘Abdullah al-Ghumari dalam Itqan ash-Shan’ah Fi Tahqiq MA’na
al-Bid’ah, al-Hafizh al-Muhaddits asy-Syekh ‘Abdullah al-Harari
dalamat-Ta’aqqub al-Hatsits dan Nushrah at-Ta’aqqub, serta masih banyak para
ulama lainnya.
Kalangan yang
membid’ahkan dan mengharamkan tasbih
Sebagian kalangan
yang mengharamkan penggunaan tasbih secara membabi buta kerana kebodohannya
berkata: “Memakai tasbih adalah kebiasaan dan lambang orang-orang Nasrani”
Jawapannya:
Hasbunallah.
Pernyataan seperti ini melampau dan sangat berlebih-lebihan. Tidak pernah ada
seorang ulama pun yang mengatakan seperti ini. Bahkan orang Islam awam
sekalipun tidak berani mengatakan demikian. Sebaliknya, seluruh ulama salaf dan
ulama khalaf mengatakan boleh berzikir dengan menggunakan tasbih, dan banyak di
antara mereka yang mengamalkannya.
Para ulama dari empat
mazhab, para ulama hadis, para ahli sufi dan para ulama Ahlussunnah Wal
Jama’ah, semuanya sepakat membolehkan penggunaan tasbih dalam hitungan zikir.
Adapun golongan yang menyempal, seperti Wahhabiyyah yang mengharamkan
penggunaan tasbih dalam berzikir dan menganggapnya sebagai bid’ah yang sesat,
adalah faham ekstrim yang baru datang di waktu kebelakangan ini saja. Jelas,
faham semacam ini menyalahi apa yang telah diyakini oleh sebilangan besar umat
Islam. [Lihat betapa bid'ahnya “ahli bid’ah” terhadap orang-orang yang
mempergunakan tasbih, diungkapkan oleh salah seorang pemuka Wahhabiyyah,
bernama ‘Abdullah ibn Muhammad ibn Abd al-Wahhab, dalam buku berjudul
al-Hadiyyah as-Saniyyah, h. 47]
Padahal al-Imam
as-Suyuthi dalam risalah al-Minhah Fi as-Subhah menuliskan sebagai berikut:
وَقَدْ اِتَّخَذَ السُّبْحَةَ
سَادَاتٌ
يُشَارُ
إِلَيْهِمْ
وَيُؤْخَذُ
عَنْهُمْ
وَيُعْتَمَدُ
عَلَيْهِمْ
كَأَبِيْ
هُرَيْرَةَ
رَضِيَ
اللهُ
عَنْهُ،
كَانَ
لَهُ
خَيْطٌ
فِيْهِ
أَلْفَا
عُقْدَةٍ
فَكَانَ
لاَ
يَنَامُ
حَتَّى
يُسَبِّحَ
بِهِ
ثِنْتَيْ
عَشْرَةَ
أَلْفَ
تَسْبِيْحَةٍ،
قَالَهُ
عِكْرِمَةُ.
وَفِيْ
مَوْضِعٍ
ءَاخَرَ:
وَلَمْ
يُنْقَلْ
عَنْ
أَحَدٍ
مِنَ
السَّلَفِ
وَلاَ
مِنَ
الْخَلَفِ
الْمَنْعُ
مِنْ
جَوَازِ
عَدِّ
الذِّكْرِ
بِالسُّبْحَةِ،
بَلْ
كَانَ
أَكْثَرُهُمْ
يَعُدُّوْنَهُ
بِهَا
وَلاَ
يَرَوْنَ
ذلِكَ
مَكْرُوْهًا.
“Tasbih ini telah
dipakai oleh para panutan kita, tokoh-tokoh ternama, ulama-ulama sumber ilmu
dan sandaran umat seperti sahabat Abu Hurairah. Beliau punya benang yang
memiliki dua ribu bundelan. Beliau tidak beranjak tidur hingga berzikir
dengannya sebanyak dua belas ribu kali, seperti diriwayatkan oleh ‘Ikrimah”.
Di halaman lain
as-Suyuthi berkata: “Tidak pernah dinukil dari seorangpun, dari ulama salaf dan
ulama khalaf yang melarang menghitung dzikir dengan tasbih. Melainkan
kebanyakan ulama justru menghitung zikir dengan menggunakan tasbih, dan mereka
tidak mengganggap hal itu sebagai perkara makruh”.
Dengan demikian, para
panutan kita terdahulu seperti yang disinggung oleh al-Imam as-Suyuthi di atas,
baik dari kalangan sahabat Nabi, para tabi’in dan generasi-generasi setelah
mereka, yang di antara mereka adalah para ulama atqiya’ dan solihin, mereka
semua banyak yang mempergunakan tasbih dalam menghitung bilangan zikirnya.
Dari sini kita
katakan kepada mereka yang mengharamkan penggunaan tasbih:
“Apakah kamu akan
mengatakan bahawa jajaran para ulama salaf dan para ulama khalaf tersebut
sebagai orang-orang yang menyerupakan diri dengan kaum Nasrani dan menghidupkan
lambang-lambang mereka? Tidakkah kamu punya rasa malu? Siapakah kamu hingga
begitu berani berkata seperti itu? Apakah menurut kamu bahawa para ulama yang
membolehkan dan mempergunakan tasbih, seperti al-Hasan al-Bashri, al-Junaid
al-Baghdadi, an-Nawawi, Ibn Hajar al-‘Asqalani, as-Suyuthi, Ibn Hajar
al-Haitami dan lainnya, bahawa mereka semua tidak memahami agama.
Apakah menurut kamu
bahawa mereka tidak mengetahui hadis mana yang soheh dan hadis mana yang
dho’if?! Apakah menurut kamu berpendapat bahawa mereka semua tidak bisa
membezakan antara sunnah dan bid’ah?! Seharusnya kamu menyedari bahawa
sebenarnya kamu sendiri yang layak disebut sebagai “Ahli Bid’ah”.