"(Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung kedalam gua lalu mereka berdoa, "Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)." (QS al-Kahfi:10).
Dengan panjang lebar kitab Qishashul Anbiya mulai dari halaman 566 meriwayatkan sebagai berikut:
Dikala Umar bin Khattab memangku
jabatan sebagai Amirul Mukminin, pernah datang kepadanya beberapa orang
pendeta Yahudi. Mereka berkata kepada Khalifah, "Hai Khalifah Umar,
anda adalah pemegang kekuasaan sesudah Muhammad dan sahabatnya, Abu Bakar.
Kami hendak menanyakan beberapa masalah penting kepada anda. Jika anda
dapat memberi jawaban kepada kami, barulah kami mau mengerti bahwa Islam
merupakan agama yang benar dan Muhammad benar-benar seorang Nabi.
Sebaliknya, jika anda tidak dapat memberi jawaban, berarti bahwa agama
Islam itu bathil dan Muhammad bukan seorang Nabi.
"Silahkan bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan," sahut Khalifah Umar.
"Jelaskan
kepada kami tentang induk kunci (gembok) mengancing langit, apakah
itu?" Tanya pendeta-pendeta itu, memulai pertanyaan-pertanyaannya.
"Terangkan kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang berjalan
bersama penghuninya, apakah itu? Tunjukkan kepada kami tentang suatu
makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi ia bukan
manusia dan bukan jin! Terangkan kepada kami tentang lima jenis makhluk
yang dapat berjalan di permukaan bumi, tetapi makhluk-makhluk itu tidak
dilahirkan dari kandungan ibu atau induknya! Beritahukan kepada kami apa
yang dikatakan oleh burung puyuh (gemak) disaat ia sedang berkicau!
Apakah yang dikatakan oleh ayam jantan dikala ia sedang berkokok! Apakah
yang dikatakan oleh kuda disaat ia sedang meringkik? Apakah yang
dikatakan oleh katak diwaktu ia sedang bersuara? Apakah yang dikatakan
oleh keledai disaat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh
burung pipit pada waktu ia sedang berkicau?"
Khalifah
Umar menundukkan kepala untuk berpikir sejenak, kemudian berkata, "Bagi
Umar, jika ia menjawab 'tidak tahu' atas pertanyaan-pertanyaan yang
memang tidak diketahui jawabannya, itu bukan suatu hal yang memalukan!''
Mendengar jawaban
Khalifah Umar seperti itu, pendeta-pendeta Yahudi yang bertanya berdiri
melonjak-lonjak kegirangan, sambil berkata, "Sekarang kami bersaksi
bahwa Muhammad memang bukan seorang Nabi, dan agama Islam itu adalah
bathil!"
Salman Al-Farisi yang saat itu hadir, segera bangkit dan berkata kepada pendeta-pendeta Yahudi itu: "Kalian tunggu sebentar!"
Ia cepat-cepat pergi ke rumah Ali bin Abi Thalib. Setelah bertemu, Salman berkata: "Ya Abal Hasan, selamatkanlah agama Islam!"
Imam Ali r.a. bingung, lalu bertanya: "Mengapa?"
Salman
kemudian menceritakan apa yang sedang dihadapi oleh Khalifah Umar bin
Khattab. Imam Ali segera saja berangkat menuju ke rumah Khalifah Umar,
berjalan lenggang memakai burdah (selembar kain penutup punggung atau
leher) peninggalan Rasulullah SAW. Ketika Umar melihat Ali bin Abi
Thalib datang, ia bangun dari tempat duduk lalu buru-buru memeluknya,
sambil berkat,: "Ya Abal Hasan, tiap ada kesulitan besar, engkau selalu
kupanggil!"
Setelah berhadap-hadapan
dengan para pendeta yang sedang menunggu-nunggu jawaban itu, Ali bin Abi
Thalib herkata, "Silahkan kalian bertanya tentang apa saja yang kalian
inginkan. Rasulullah SAW sudah mengajarku seribu macam ilmu, dan tiap
jenis dari ilmu-ilmu itu mempunyai seribu macam cabang ilmu!"
Pendeta-pendeta
Yahudi itu lalu mengulangi pertanyaan-pertanyaan mereka. Sebelum
menjawab, Ali bin Abi Thalib berkata, "Aku ingin mengajukan suatu syarat
kepada kalian, yaitu jika ternyata aku nanti sudah menjawab
pertanyaan-pertanyaan kalian sesuai dengan yang ada di dalam Taurat,
kalian supaya bersedia memeluk agama kami dan beriman!" "Ya baik!" jawab
mereka.
"Sekarang tanyakanlah satu demi satu," kata Ali bin Abi Thalib.
Mereka mulai bertanya, "Apakah induk kunci (gembok) yang mengancing pintu-pintu langit?"
"Induk
kunci itu," jawab Ali bin Abi Thalib, "ialah syirik kepada Allah. Sebab
semua hamba Allah, baik laki-laki ataupun wanita, jika ia bersyirik
kepada Allah, amalnya tidak akan dapat naik sampai kehadirat Allah!"
Para pendeta Yahudi bertanya lagi, "Anak kunci apakah yang dapat membuka pintu-pintu langit?"
Ali
bin Abi Thalib menjawab, "Anak kunci itu ialah kesaksian (syahadat)
bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah!"
Para
pendeta Yahudi itu saling pandang di antara mereka, sambil berkata,
"Orang itu benar juga!" Mereka bertanya lebih lanjut, "Terangkanlah
kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang dapat berjalan bersama
penghuninya!"
"Kuburan itu ialah ikan
hiu (hut) yang menelan Nabi Yunus putera Matta," jawab Ali bin Abi
Thalib. "Nabi Yunus AS dibawa keliling ketujuh samudera!"
Pendeta-pendeta
itu meneruskan pertanyaannya lagi, "Jelaskan kepada kami tentang
makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi makhluk
itu bukan manusia dan bukan jin!"
Ali
bin Abi Thalib menjawab, "Makhluk itu ialah semut Nabi Sulaiman AS
putera Nabi Dawud AS, Semut itu berkata kepada kaumnya, 'Hai para semut,
masuklah ke dalam tempat kediaman kalian, agar tidak diinjak-injak oleh
Sulaiman dan pasukan-nya dalam keadaan mereka tidak sadar!"
Para
pendeta Yahudi itu meneruskan pertanyaannya, "Beritahukan kepada kami
tentang lima jenis makhluk yang berjalan diatas permukaan bumi, tetapi
tidak satu pun diantara makhluk-makhluk itu yang dilahirkan dari
kandungan ibunya atau induknya!"
Ali
bin Abi Thalib menjawab, "Lima makhluk itu ialah, pertama, Adam. Kedua,
Hawa. Ketiga, Unta Nabi Shaleh. Keempat, Domba Nabi Ibrahim. Kelima,
Tongkat Nabi Musa (yang menjelma menjadi seekor ular)."
Dua
diantara tiga orang pendeta Yahudi itu setelah mendengar
jawaban-jawaban serta penjelasan yang diberikan oleh Imam Ali r.a. lalu
mengatakan, "Kami bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad
adalah Rasulullah!"
Tetapi seorang
pendeta lainnya, bangun berdiri sambil berkata kepada Ali bin Abi
Thalib, "Hai Ali, hati teman-temanku sudah dihinggapi oleh sesuatu yang
sama seperti iman dan keyakinan mengenai benarnya agama Islam. Sekarang
masih ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan kepada anda."
"Tanyakanlah apa saja yang kau inginkan," sahut Imam Ali.
"Coba
terangkan kepadaku tentang sejumlah orang yang pada zaman dahulu sudah
mati selama 309 tahun, kemudian dihidupkan kembali oleh Allah. Bagaimana
hikayat tentang mereka itu?" Tanya pendeta tadi.
Ali
bin Ali Thalib menjawab, "Hai pendeta Yahudi, mereka itu ialah para
penghuni gua. Hikayat tentang mereka itu sudah dikisahkan oleh Allah SWT
kepada Rasul-Nya. Jika engkau mau, akan kubacakan kisah mereka itu."
Pendeta Yahudi itu menyahut, "Aku sudah banyak mendengar tentang Qur'an kalian
itu! Jika engkau memang benar-benar tahu, coba sebutkan nama-nama
mereka, nama ayah-ayah mereka, nama kota mereka, nama raja mereka, nama
anjing mereka, nama gunung serta gua mereka, dan semua kisah mereka dari
awal sampai akhir!"
Ali bin Abi
Thalib kemudian membetulkan duduknya, menekuk lutut kedepan perut, lalu
ditopangnya dengan burdah yang diikatkan ke pinggang. Lalu ia berkata,
"Hai saudara Yahudi, Muhammad Rasulullah SAW kekasihku telah
menceritakan kepadaku, bahwa kisah itu terjadi di negeri Romawi,
disebuah kota bernama Aphesus, atau disebut juga dengan nama Tharsus.
Tetapi nama kota itu pada zaman dahulu ialah Aphesus (Ephese). Baru
setelah Islam datang, kota itu berubah nama menjadi Tharsus (Tarse,
sekarang terletak di dalam wilayah Turki). Penduduk negeri itu dahulunya
mempunyai seorang raja yang baik. Setelah raja itu meninggal dunia,
berita kematiannya didengar oleh seorang raja Persia bernama Diqyanius.
Ia seorang raja kafir yang amat congkak dan dzalim. Ia datang menyerbu
negeri itu dengan kekuatan pasukannya, dan akhirnya berhasil menguasai
kota Aphesus. Olehnya kota itu dijadikan ibukota kerajaan, lalu
dibangunlah sebuah Istana."
Baru
sampai disitu, pendeta Yahudi yang bertanya itu berdiri, terus bertanya,
"Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku bentuk Istana
itu, bagaimana serambi dan ruangan-ruangannya!"
Ali
bin Abi Thalib menerangkan, "Hai saudara Yahudi, raja itu membangun
istana yang sangat megah, terbuat dari batu marmer. Panjangnya satu
farsakh (+/- 8 km) dan lebarnya pun satu farsakh. Pilar-pilarnya yang
berjumlah seribu buah, semuanya terbuat dari emas, dan lampu-lampu yang
berjumlah seribu buah, juga semuanya terbuat dari emas. Lampu-lampu itu
bergelantungan pada rantai-rantai yang terbuat dari perak. Tiap malam
apinya dinyalakan dengan sejenis minyak yang harum baunya. Disebelah
timur serambi dibuat lubang-lubang cahaya sebanyak seratus buah,
demikian pula di sebelah baratnya. Sehingga matahari sejak mulai terbit
sampai terbenam selalu dapat menerangi serambi. Raja itu pun membuat
sebuah singgasana dari emas. Panjangnya 80 hasta dan lebarnya 40 hasta.
Di sebelah kanannya tersedia 80 buah kursi, semuanya terbuat dari emas.
Di situlah para hulubalang kerajaan duduk. Disebelah kirinya juga
disediakan 80 buah kursi terbuat dari emas, untuk duduk para pepatih dan
penguasa-penguasa tinggi lainnya. Raja duduk di atas singgasana dengan
mengenakan mahkota di atas kepala."
Sampai
disitu pendeta yang bersangkutan berdiri lagi sambil berkata, "Jika
engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku dari apakah mahkota itu
dibuat?"
"Hai saudara Yahudi," kata
Imam Ali menerangkan, "Mahkota raja itu terbuat dari kepingan-kepingan
emas, berkaki 9 buah, dan tiap kakinya bertaburan mutiara yang
memantulkan cahaya laksana bintang-bintang menerangi kegelapan malam.
Raja itu juga mempunyai 50 orang pelayan, terdiri dari anak-anak para
hulubalang. Semuanya memakai selempang dan baju sutera berwarna merah.
Celana mereka juga terbuat dari sutera berwarna hijau. Semuanya dihias
dengan gelang-gelang kaki yang sangat indah. Masing-masing diberi
tongkat terbuat dari emas. Mereka harus berdiri di belakang raja. Selain
mereka, raja juga mengangkat 6 orang, terdiri dari anak-anak para
cendekiawan, untuk dijadikan menteri-menteri atau pembantu-pembantunya.
Raja tidak mengambil suatu keputusan apa pun tanpa berunding lebih dulu
dengan mereka. Enam orang pembantu itu selalu berada di kanan kiri raja,
tiga orang berdiri di sebelah kanan dan yang tiga orang lainnya berdiri
di sebelah kiri."
Pendeta yang
bertanya itu berdiri lagi, lalu berkata, "Hai Ali, jika yang kau katakan
itu benar, coba sebutkan nama enam orang yang menjadi pembantu-pembantu
raja itu!"
Menanggapi hal itu, Imam
Ali r.a. menjawab, "Kekasihku Muhammad Rasulullah SAW menceritakan
kepadaku, bahwa tiga orang yang berdiri disebelah kanan raja,
masing-masing bernama Tamlikha, Miksalmina, dan Mikhaslimina. Adapun
tiga orang pembantu yang berdiri di sebelah kiri, masing-masing bernama
Martelius, Casitius dan Sidemius. Raja selalu berunding dengan mereka
mengenai segala urusan.
Tiap hari
setelah raja duduk dalam serambi istana dikerumuni oleh semua hulubalang
dan para punggawa, masuklah tiga orang pelayan menghadap raja. Seorang
diantaranya membawa piala emas penuh berisi wewangian murni. Seorang
lagi membawa piala perak penuh berisi air sari bunga. Sedang yang
seorangnya lagi membawa seekor burung. Orang yang membawa burung ini
kemudian mengeluarkan suara isyarat, lalu burung itu terbang di atas
piala yang berisi air sari bunga. Burung itu berkecimpung didalamnya dan
setelah itu ia mengibas-ngibaskan sayap serta bulunya, sampai
sari-bunga itu habis dipercikkan ke semua tempat sekitarnya.
Kemudian
si pembawa burung tadi mengeluarkan suara isyarat lagi. Burung itu
terbang pula. Lalu hinggap di atas piala yang berisi wewangian murni.
Sambil berkecimpung didalamnya, burung itu mengibas-ngibaskan sayap dan
bulunya, sampai wewangian murni yang ada dalam piala itu habis
dipercikkan ke tempat sekitarnya. Pembawa burung itu memberi isyarat
suara lagi. Burung itu lalu terbang dan hinggap di atas mahkota raja,
sambil membentangkan kedua sayap yang harum semerbak di atas kepala
raja.
Demikianlah raja
itu berada di atas singgasana kekuasaan selama tiga puluh tahun. Selama
itu ia tidak pernah diserang penyakit apa pun, tidak pernah merasa
pusing kepala, sakit perut, demam, berliur, berludah atau pun beringus.
Setelah sang raja merasa diri sedemikian kuat dan sehat, ia mulai
congkak, durhaka dan dzalim. Ia mengaku-aku diri sebagai "tuhan" dan
tidak mau lagi mengakui adanya Allah SWT.
Raja
itu kemudian memanggil orang-orang terkemuka dari rakyatnya. Barang
siapa yang taat dan patuh kepadanya, diberi pakaian dan berbagai macam
hadiah lainnya. Tetapi barang siapa yang tidak mau taat atau tidak
bersedia mengikuti kemauannya, ia akan segera dibunuh. Oleh sebab itu
semua orang terpaksa mengiakan kemauannya. Dalam masa yang cukup lama,
semua orang patuh kepada raja itu, sampai ia disembah dan dipuja. Mereka
tidak lagi memuja dan menyembah Allah SWT.
Pada
suatu hari perayaan ulang-tahunnya, raja sedang duduk di atas
singgasana mengenakan mahkota di atas kepala, tiba-tiba masuklah seorang
hulubalang memberi tahu, bahwa ada balatentara asing masuk menyerbu
kedalam wilayah kerajaannya, dengan maksud hendak melancarkan peperangan
terhadap raja. Demikian sedih dan bingungnya raja itu, sampai tanpa
disadari mahkota yang sedang dipakainya jatuh dari kepala. Kemudian raja
itu sendiri jatuh terpelanting dari atas singgasana. Salah seorang
pembantu yang berdiri di sebelah kanan --seorang cerdas yang bernama
Tamlikha-- memperhatikan keadaan sang raja dengan sepenuh pikiran. Ia
berpikir, lalu berkata di dalam hati, "Kalau Diqyanius itu benar-benar
tuhan sebagaimana menurut pengakuannya, tentu ia tidak akan sedih, tidak
tidur, tidak buang air kecil atau pun air besar. Itu semua bukanlah
sifat-sifat Tuhan.
Enam orang
pembantu raja itu tiap hari selalu mengadakan pertemuan di tempat salah
seorang dari mereka secara bergiliran. Pada satu hari tibalah giliran
Tamlikha menerima kunjungan lima orang temannya. Mereka berkumpul di
rumah Tamlikha untuk makan dan minum, tetapi Tamlikha sendiri tidak ikut
makan dan minum. Teman-temannya bertanya, 'Hai Tamlikha, mengapa engkau
tidak mau makan dan tidak mau minum?'
'Teman-teman,'
sahut Tamlikha, 'hatiku sedang dirisaukan oleh sesuatu yang membuatku
tidak ingin makan dan tidak ingin minum, juga tidak ingin tidur.'
Teman-temannya mengejar, 'Apakah yang merisaukan hatimu, hai Tamlikha?'
'Sudah
lama aku memikirkan soal langit,' ujar Tamlikha menjelaskan. 'Aku lalu
bertanya pada diriku sendiri,'siapakah yang mengangkatnya ke atas
sebagai atap yang senantiasa aman dan terpelihara, tanpa gantungan dari
atas dan tanpa tiang yang menopangnya dari bawah? Siapakah yang
menjalankan matahari dan bulan di langit itu? Siapakah yang menghias
langit itu dengan bintang-bintang bertaburan?' Kemudian kupikirkan juga
bumi ini, 'Siapakah yang membentang dan menghamparkan-nya di cakrawala?
Siapakah yang menahannya dengan gunung-gunung raksasa agar tidak goyah,
tidak goncang dan tidak miring?' Aku juga lama sekali memikirkan diriku
sendiri, 'Siapakah yang mengeluarkan aku sebagai bayi dari perut ibuku?
Siapakah yang memelihara hidupku dan memberi makan kepadaku? Semuanya
itu pasti ada yang membuat, dan sudah tentu bukan Diqyanius'…"
Teman-teman
Tamlikha lalu bertekuk lutut di hadapannya. Dua kaki Tamlikha diciumi
sambil berkata, 'Hai Tamlikha dalam hati kami sekarang terasa sesuatu
seperti yang ada di dalam hatimu. Oleh karena itu, baiklah engkau
tunjukkan jalan keluar bagi kita semua!'
'Saudara-saudara,'
jawab Tamlikha, 'baik aku maupun kalian tidak menemukan akal selain
harus lari meninggalkan raja yang dzalim itu, pergi kepada Raja Pencipta
Langit dan Bumi!'
'Kami setuju dengan pendapatmu,' sahut teman-temannya.
Tamlikha
lalu berdiri, terus beranjak pergi untuk menjual buah kurma, dan
akhirnya berhasil mendapat uang sebanyak 3 dirham. Uang itu kemudian
diselipkan dalam kantong baju. Lalu berangkat berkendaraan kuda
bersama-sama dengan lima orang temannya.
Setelah
berjalan 3 mil jauhnya dari kota, Tamlikha berkata kepada
teman-temannya, 'Saudara-saudara, kita sekarang sudah terlepas dari raja
dunia dan dari kekuasaannya. Sekarang turunlah kalian dari kuda dan
marilah kita berjalan kaki. Mudah-mudahan Allah akan memudahkan urusan
kita serta memberikan jalan keluar. Mereka turun dari kudanya
masing-masing. Lalu berjalan kaki sejauh 7 farsakh, sampai kaki mereka
bengkak berdarah karena tidak biasa berjalan kaki sejauh itu.
Tiba-tiba
datanglah seorang penggembala menyambut mereka. Kepada penggembala itu
mereka bertanya,'Hai penggembala, apakah engkau mempunyai air minum atau
susu?'
'Aku mempunyai semua yang
kalian inginkan,' sahut penggembala itu. 'Tetapi kulihat wajah kalian
semuanya seperti kaum bangsawan. Aku menduga kalian itu pasti melarikan
diri. Coba beritahukan kepadaku bagaimana cerita perjalanan kalian itu!'
'Ah…,
susahnya orang ini,' jawab mereka. 'Kami sudah memeluk suatu agama,
kami tidak boleh berdusta. Apakah kami akan selamat jika kami mengatakan
yang sebenarnya?' 'Ya,' jawab penggembala itu.
Tamlikha
dan teman-temannya lalu menceritakan semua yang terjadi pada diri
mereka. Mendengar cerita mereka, penggembala itu segera bertekuk lutut
di depan mereka, dan sambil menciumi kaki mereka, ia berkata, 'Dalam
hatiku sekarang terasa sesuatu seperti yang ada dalam hati kalian.
Kalian berhenti sajalah dahulu di sini. Aku hendak mengembalikan
kambing-kambing itu kepada pemiliknya. Nanti aku akan segera kembali
lagi kepada kalian.'
Tamlikha bersama
teman-temannya berhenti. Penggembala itu segera pergi untuk
mengembalikan kambing-kambing gembalaannya. Tak lama kemudian ia datang
lagi berjalan kaki, diikuti oleh seekor anjing miliknya."
Waktu
cerita Imam Ali sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya melonjak
berdiri lagi sambil berkata, "Hai Ali, jika engkau benar-benar tahu,
coba sebutkan apakah warna anjing itu dan siapakah namanya?"
"Hai
saudara Yahudi," kata Ali bin Abi Thalib, "Anjing itu berwarna
kehitam-hitaman dan bernama Qithmir. Ketika enam orang pelarian itu
melihat seekor anjing, masing-masing saling berkata kepada temannya,
kita khawatir kalau-kalau anjing itu nantinya akan membongkar rahasia
kita! Mereka minta kepada penggembala supaya anjing itu dihalau saja
dengan batu.
Anjing itu melihat
kepada Tamlikha dan teman-temannya, lalu duduk di atas dua kaki
belakang, menggeliat, dan mengucapkan kata-kata dengan lancar dan jelas
sekali, 'Hai orang-orang, mengapa kalian hendak mengusirku, padahal aku
ini bersaksi tiada tuhan selain Allah, tak ada sekutu apa pun bagi-Nya.
Biarlah aku menjaga kalian dari musuh, dan dengan berbuat demikian aku
mendekatkan diriku kepada Allah SWT.'
Anjing
itu akhirnya dibiarkan saja. Mereka lalu pergi. Penggembala tadi
mengajak mereka naik ke sebuah bukit. Lalu bersama mereka mendekati
sebuah gua."
Pendeta Yahudi yang
menanyakan kisah itu, bangun lagi dari tempat duduknya sambil berkata,
"Apakah nama gunung itu dan apakah nama gua itu?"
Imam Ali menjelaskan, "Gunung itu bernama Naglus dan nama gua itu ialah Washid, atau disebut juga dengan nama Kheram!"
Ali
bin Abi Thalib meneruskan ceritanya, "Secara tiba-tiba di depan gua itu
tumbuh pepohonan berbuah dan memancur mata-air deras sekali. Mereka
makan buah-buahan dan minum air yang tersedia di tempat itu. Setelah
tiba waktu malam, mereka masuk berlindung di dalam gua. Sedang anjing
yang sejak tadi mengikuti mereka, berjaga-jaga duduk sambil menjulurkan
dua kaki depan untuk menghalang-halangi pintu gua. Kemudian Allah SWT
memerintahkan Malaikat maut supaya mencabut nyawa mereka. Kepada
masing-masing orang dari mereka Allah SWT mewakilkan dua Malaikat untuk
membalik-balik tubuh mereka dari kanan ke kiri. Allah lalu memerintahkan
matahari supaya pada saat terbit condong memancarkan sinarnya ke dalam
gua dari arah kanan, dan pada saat hampir terbenam supaya sinarnya mulai
meninggalkan mereka dari arah kiri.
Suatu
ketika waktu raja Diqyanius baru saja selesai berpesta ia bertanya
tentang enam orang pembantunya. Ia mendapat jawaban, bahwa mereka itu
melarikan diri. Raja Diqyanius sangat gusar. Bersama 80.000 pasukan
berkuda ia cepat-cepat berangkat menyelusuri jejak enam orang pembantu
yang melarikan diri. Ia naik ke atas bukit, kemudian mendekati gua. Ia
melihat enam orang pembantunya yang melarikan diri itu sedang tidur
berbaring di dalam gua. Ia tidak ragu-ragu dan memastikan bahwa enam
orang itu benar-benar sedang tidur.
Kepada
para pengikutnya ia berkata, 'Kalau aku hendak menghukum mereka, tidak
akan kujatuhkan hukuman yang lebih berat dari perbuatan mereka yang
telah menyiksa diri mereka sendiri di dalam gua. Panggillah
tukang-tukang batu supaya mereka segera datang ke mari!'
Setelah
tukang-tukang batu itu tiba, mereka diperintahkan menutup rapat pintu
gua dengan batu-batu dan jish (bahan semacam semen). Selesai dikerjakan,
raja berkata kepada para pengikutnya, "Katakanlah kepada mereka yang
ada di dalam gua, kalau benar-benar mereka itu tidak berdusta supaya
minta tolong kepada Tuhan mereka yang ada di langit, agar mereka
dikeluarkan dari tempat itu.,
Dalam gua tertutup rapat itu, mereka tinggal selama 309 tahun.
Setelah
masa yang amat panjang itu lewat, Allah SWT mengembalikan lagi nyawa
mereka. Pada saat matahari sudah mulai memancarkan sinar, mereka merasa
seakan-akan baru bangun dari tidurnya masing-masing. Yang seorang
berkata kepada yang lainnya, 'Malam tadi kami lupa beribadah kepada
Allah, mari kita pergi ke mata air!'
Setelah
mereka berada di luar gua, tiba-tiba mereka lihat mata air itu sudah
mengering kembali dan pepohonan yang ada pun sudah menjadi kering
semuanya. Allah SWT membuat mereka mulai merasa lapar. Mereka saling
bertanya, 'Siapakah diantara kita ini yang sanggup dan bersedia
berangkat ke kota membawa uang untuk bisa mendapatkan makanan? Tetapi
yang akan pergi ke kota nanti supaya hati-hati benar, jangan sampai
membeli makanan yang dimasak dengan lemak-babi.'
Tamlikha
kemudian berkata, 'Hai saudara-saudara, aku sajalah yang berangkat
untuk mendapatkan makanan. Tetapi, hai penggembala, berikanlah bajumu
kepadaku dan ambillah bajuku ini!'
Setelah
Tamlikha memakai baju penggembala, ia berangkat menuju ke kota.
Sepanjang jalan ia melewati tempat-tempat yang sama sekali belum pernah
dikenalnya, melalui jalan-jalan yang belum pernah diketahui. Setibanya
dekat pintu gerbang kota, ia melihat bendera hijau berkibar di angkasa
bertuliskan, 'Tiada Tuhan selain Allah dan Isa adalah Roh Allah.'
Tamlikha
berhenti sejenak memandang bendera itu sambil mengusap-usap mata, lalu
berkata seorang diri, 'Kusangka aku ini masih tidur!' Setelah agak lama
memandang dan mengamat-amati bendera, ia meneruskan perjalanan memasuki
kota. Dilihatnya banyak orang sedang membaca Injil. Ia berpapasan dengan
orang-orang yang belum pernah dikenal. Setibanya di sebuah pasar ia
bertanya kepada seorang penjaja rot, 'Hai tukang roti, apakah nama kota
kalian ini?' 'Aphesus,' sahut penjual roti itu.
'Siapakah nama raja kalian?' tanya Tamlikha lagi. 'Abdurrahman,' jawab penjual roti.
'Kalau
yang kau katakan itu benar,' kata Tamlikha, 'urusanku ini sungguh aneh
sekali! Ambillah uang ini dan berilah makanan kepadaku!'
Melihat
uang itu, penjual roti keheran-heranan. Karena uang yang dibawa
Tamlikha itu uang zaman lampau, yang ukurannya lebih besar dan lebih
berat."
Pendeta Yahudi yang bertanya
itu kemudian berdiri lagi, lalu berkata kepada Ali bin Abi Thalib, "Hai
Ali, kalau benar-benar engkau mengetahui, coba terangkan kepadaku berapa
nilai uang lama itu dibanding dengan uang baru!"
Imam
Ali menerangkan, "Uang yang dibawa oleh Tamlikha dibanding dengan uang
baru, ialah tiap dirham lama sama dengan sepuluh dan dua pertiga dirham
baru!"
Imam Ali kemudian melanjutkan
ceritanya, "Penjual Roti lalu berkata kepada Tamlikha, 'Aduhai, alangkah
beruntungnya aku! Rupanya engkau baru menemukan harta karun! Berikan
sisa uang itu kepadaku! Kalau tidak, engkau akan ku hadapkan kepada
raja!'
'Aku tidak menemukan harta
karun,' sangkal Tamlikha. 'Uang ini ku dapat tiga hari yang lalu dari
hasil penjualan buah kurma seharga tiga dirham! Aku kemudian
meninggalkan kota karena orang-orang semuanya menyembah Diqyanius!'
Penjual
roti itu marah. Lalu berkata, 'Apakah setelah engkau menemukan harta
karun masih juga tidak rela menyerahkan sisa uangmu itu kepadaku? Lagi
pula engkau telah menyebut-nyebut seorang raja durhaka yang mengaku diri
sebagai tuhan, padahal raja itu sudah mati lebih dari 300 tahun yang
silam! Apakah dengan begitu engkau hendak memperolok-olok aku?'
Tamlikha
lalu ditangkap. Kemudian dibawa pergi menghadap raja. Raja yang baru
ini seorang yang dapat berpikir dan bersikap adil. Raja bertanya kepada
orang-orang yang membawa Tamlikha, 'Bagaimana cerita tentang orang ini?'
'Dia menemukan harta karun,' jawab orang-orang yang membawanya.
Kepada
Tamlikha, Raja berkata, 'Engkau tak perlu takut! Nabi Isa AS
memerintahkan supaya kami hanya memungut seperlima saja dari harta karun
itu. Serahkanlah yang seperlima itu kepadaku, dan selanjutnya engkau
akan selamat.'
Tamlikha menjawab, 'Baginda, aku sama sekali tidak menemukan harta karun! Aku adalah penduduk kota ini!'
Raja bertanya sambil keheran-heranan, 'Engkau penduduk kota ini?' 'Ya. Benar,' sahut Tamlikha.
'Adakah orang yang kau kenal?' tanya raja lagi. 'Ya, ada,' jawab Tamlikha.
'Coba
sebutkan siapa namanya,' perintah raja. Tamlikha menyebut nama-nama
kurang lebih 1000 orang, tetapi tak ada satu nama pun yang dikenal oleh
raja atau oleh orang lain yang hadir mendengarkan. Mereka berkata. 'Ah…,
semua itu bukan nama orang-orang yang hidup di zaman kita sekarang.
Tetapi, apakah engkau mempunyai rumah di kota ini?'
'Ya, tuanku,' jawab Tamlikha. 'Utuslah seorang menyertai aku!'
Raja
kemudian memerintahkan beberapa orang menyertai Tamlikha pergi. Oleh
Tamlikha mereka diajak menuju ke sebuah rumah yang paling tinggi di kota
itu. Setibanya di sana, Tamlikha berkata kepada orang yang
mengantarkan, 'Inilah rumahku!'
Pintu
rumah itu lalu diketuk. Keluarlah seorang lelaki yang sudah sangat
lanjut usia. Sepasang alis di bawah keningnya sudah sedemikian putih dan
mengkerut hampir menutupi mata karena sudah terlampau tua. Ia
terperanjat ketakutan, lalu bertanya kepada orang-orang yang datang,
'Kalian ada perlu apa?'
Utusan raja yang menyertai Tamlikha menyahut, 'Orang muda ini mengaku rumah ini adalah rumahnya!'
Orang tua itu marah, memandang kepada Tamlikha. Sambil mengamat-amati ia bertanya, 'Siapa namamu?' 'Aku Tamlikha anak Filistin!'
Orang
tua itu lalu berkata, 'Coba ulangi lagi!' Tamlikha menyebut lagi
namanya. Tiba-tiba orang tua itu bertekuk lutut di depan kaki Tamlikha
sambil berucap. 'Ini adalah datukku! Demi Allah, ia salah seorang
diantara orang-orang yang melarikan diri dari Diqyanius, raja durhaka."
Kemudian diteruskannya dengan suara haru, 'Ia lari berlindung kepada
Yang Maha Perkasa, Pencipta langit dan bumi. Nabi kita, Isa AS, dahulu
telah memberitahukan kisah mereka kepada kita dan mengatakan bahwa
mereka itu akan hidup kembali!'
Peristiwa
yang terjadi di rumah orang tua itu kemudian dilaporkan kepada raja.
Dengan menunggang kuda, raja segera datang menuju ke tempat Tamlikha
yang sedang berada di rumah orang tua tadi. Setelah melihat Tamlikha,
raja segera turun dari kuda. Oleh raja Tamlikha diangkat ke atas pundak,
sedangkan orang banyak beramai-ramai menciumi tangan dan kaki Tamlikha
sambil bertanya-tanya, 'Hai Tamlikha, bagaimana keadaan teman-temanmu?'
Kepada mereka Tamlikha memberi tahu, bahwa semua temannya masih berada di dalam gua.
Pada
masa itu kota Aphesus diurus oleh dua orang bangsawan istana. Seorang
beragama Islam dan seorang lainnya lagi beragama Nasrani. Dua orang
bangsawan itu bersama pengikutnya masing-masing pergi membawa Tamlikha
menuju ke gua," demikian Imam Ali melanjutkan ceritanya.
"Teman-teman
Tamlikha semuanya masih berada di dalam gua itu. Setibanya dekat gua,
Tamlikha berkata kepada dua orang bangsawan dan para pengikut mereka,
'Aku khawatir kalau sampai teman-temanku mendengar suara tapak kuda,
atau gemerincingnya senjata. Mereka pasti menduga Diqyanius datang dan
mereka bakal mati semua. Oleh karena itu kalian berhenti saja di sini.
Biarlah aku sendiri yang akan menemui dan memberitahu mereka!'
Semua
berhenti menunggu dan Tamlikha masuk seorang diri ke dalam gua. Melihat
Tamlikha datang, teman-temannya berdiri kegirangan, dan Tamlikha
dipeluknya kuat-kuat. Kepada Tamlikha mereka berkata, 'Puji dan syukur
bagi Allah yang telah menyelamatkan dirimu dari Diqyanius!'
Tamlikha menukas, 'Ada urusan apa dengan Diqyanius? Tahukah kalian, sudah berapa lamakah kalian tinggal di sini?'
'Kami tinggal sehari atau beberapa hari saja,' jawab mereka.
'Tidak!'
sangkal Tamlikha. 'Kalian sudah tinggal di sini selama 309 tahun!
Diqyanius sudah lama meninggal dunia! Generasi demi generasi sudah lewat
silih berganti, dan penduduk kota itu sudah beriman kepada Allah yang
Maha Agung! Mereka sekarang datang untuk bertemu dengan kalian!'
Teman-teman
Tamlikha menyahut, 'Hai Tamlikha, apakah engkau hendak menjadikan kami
ini orang-orang yang menggemparkan seluruh jagad?' 'Lantas apa yang
kalian inginkan?' Tamlikha balik bertanya.
'Angkatlah
tanganmu ke atas dan kami pun akan berbuat seperti itu juga,' jawab
mereka. Mereka bertujuh semua mengangkat tangan ke atas, kemudian
berdoa, 'Ya Allah, dengan kebenaran yang telah Kau perlihatkan kepada
kami tentang keanehan-keanehan yang kami alami sekarang ini, cabutlah
kembali nyawa kami tanpa sepengetahuan orang lain!'
Allah
SWT mengabulkan permohonan mereka. Lalu memerintahkan Malaikat maut
mencabut kembali nyawa mereka. Kemudian Allah SWT melenyapkan pintu gua
tanpa bekas. Dua orang bangsawan yang menunggu-nunggu segera maju
mendekati gua, berputar-putar selama tujuh hari untuk mencari-cari
pintunya, tetapi tanpa hasil. Tak dapat ditemukan lubang atau jalan
masuk lainnya ke dalam gua. Pada saat itu dua orang bangsawan tadi
menjadi yakin tentang betapa hebatnya kekuasaan Allah SWT. Dua orang
bangsawan itu memandang semua peristiwa yang dialami oleh para penghuni
gua, sebagai peringatan yang diperlihatkan Allah kepada mereka.
Bangsawan
yang beragama Islam lalu berkata, 'Mereka mati dalam keadaan memeluk
agamaku! Akan ku dirikan sebuah tempat ibadah di pintu gua itu.'
Sedang
bangsawan yang beragama Nasrani berkata pula, 'Mereka mati dalam
keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah biara di pintu gua itu.'
Dua
orang bangsawan itu bertengkar, dan setelah melalui pertikaian senjata,
akhirnya bangsawan Nasrani terkalahkan oleh bangsawan yang beragama
Islam."
Sampai di situ Imam Ali bin
Abi Thalib berhenti menceritakan kisah para penghuni gua. Kemudian
berkata kepada pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu, "Itulah, hai
Yahudi, apa yang telah terjadi dalam kisah mereka. Demi Allah, sekarang
aku hendak bertanya kepadamu, apakah semua yang ku ceritakan itu sesuai
dengan apa yang tercantum dalam Taurat kalian?"
Pendeta
Yahudi itu menjawab, "Ya Abal Hasan, engkau tidak menambah dan tidak
mengurangi, walau satu huruf pun! Sekarang engkau jangan menyebut diriku
sebagai orang Yahudi, sebab aku telah bersaksi bahwa tiada tuhan selain
Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah serta Rasul-Nya. Aku pun
bersaksi juga, bahwa engkau orang yang paling berilmu di kalangan umat
ini!"
Demikianlah hikayat tentang
para penghuni gua (Ashhabul Kahfi), kutipan dari kitab Qishasul Anbiya
yang tercantum dalam kitab Fadha 'ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah,
tulisan As Sayyid Murtadha Al Huseiniy Al Faruz Aabaad, dalam
menunjukkan banyaknya ilmu pengetahuan yang diperoleh Imam Ali bin Abi
Thalib dari Rasul SAW.
No comments:
Post a Comment